Oleh : Mulawarman
(Jurnalis, Alumni FE Unhas)
BELUM lama, dua forum yang khusus membicarakan dunia kemahasiwaan kekinian, digelar pihak Rektorat Unhas dan Kelompok Studi Kosindra Fisip Unhas, dengan hasil atau kesimpulan, Mahasiswa Unhas sudah di jalan di rel yang benar. Tiba-tiba dirusak dan dihancurkan dengan aksi barbar, primitif, tawuran yang brutal dan bengis *(untuk penulis hindari kata biadab)* antar mahasiswa, kelompok yang kerap mengklaim diri kaum intelektual dan penjaga moral itu.
Sungguh memalukan, betapa tidak, bentrok mahasiswa Unhas selama dua hari pekan kemarin, menampar keras wajah kita, wajah mahasiswa, akademisi, dan wajah Alumni Unhas. Mereka menjatuhkan dirinya ke titik terendah, tidak ubahnya seperti kerumunan kaum barbar, yang tidak punya otak.
Bahkan tersebar di sejumlah WA group media, aksi puluhan mahasiswa yang menghajar mahasiswa lainnya yang sudah jatuh terkapar seakan ingin mengalahkan kebiadaban Mario Dandy putra pejabat Kemenkeu yang menganiaya temannya dengan biadab yang viral di media sosial sebulan ini. Hewan saja tidak akan setega itu. Melawan dengan cara mengeroyok lawannya yang sudah menyerah dan sekarat tak berdaya.
Mengeroyok lawan, pasti bukan budaya lelaki Bugis-Makassar yang hanya mengenal duel bertarung dalam satu sarung. Namun, mahasiswa Unhas justru dengan bengis dan sadisnya mengeroyok melakukan pemukulan, menendang, dan menginjak rekannya sendiri yang juga mahasiswa. Brutal, bengis, sadis dan barbar benar aksi mereka.
Kita tidak ingin aksi brutal terus terjadi. Perlu ada kemauan yang kuat dari semua pihak untuk mengakhiri masalah tersebut. Mencari akar masalahnya, menyusun pendekatan penyelesaiannya, menindak pelaku kejahatannya, hingga mengatasi dampaknya. Bila tidak, maka jangan harap masalah tawuran akan berakhir.
Apa yang membuat mahasiswa dengan mudahnya terjebak dalam aksi tawuran ? Mengapa orang yang dikenal kaum intelektual berpendidikan, justru bisa berubah cepat menjadi gerombolan bar-bar yang bengis ? Bagaimana mengendalikan kekerasan yang berulang-ulang ? Tulisan ini akan turut urung rembug melihat permasalahan itu lebih dekat.
*Kasus yang Berulang*
Aksi tawuran mahasiswa pertengahan Maret 2023 kemarin semakin menambah panjang daftar rapot “tawuran kampus merah” atau Unhas ini, kita dapat mendata antara lain dari peristiwa tawuran besar yang disebut sebagai Black September 1992, tawuran mahasiswa Fakultas Teknik dengan Fakultas MIPA tahun 2002, tawuran yang sama terjadi lagi di 2005 dengan melibatkan 1.000 mahasiswa dari Teknik dan Sospol, tawuran lagi saat inaugurasi Fakultas MIPA pada 2010, tawuran 2018 antara Teknik dan MIPA lagi, dan tawuran antara mahasiswa Fakultas Ternak dan Ilmu Budaya pada Mei 2022.
Bila melirik kampus lain, tidak jauh beda daftarnya. 22 Februari 2022 lalu, terjadi di UNM yang mengakibatkan 2 luka bacok dan 1 motor dibakar. Maret tahun lalu kasus yang sama juga terjadi di UMI. Bahkan kampus yang terakhir ini cukup sering namanya menjadi pemberitaan media, karena seringnya trending tawuran. Pasalnya dari kejadian, bukan hanya melibatkan dalam jumlah banyak, namun juga dampak yang ditimbulkan, dari hancurnya berbagai fasilitas kampus, gedung ruang kuliah, laboratorium hingga korban tewas dari mahasiswa.
Data kasus tawuran mahasiswa pastinya akan semakin banyak lagi bila digabungkan dengan kasus pemuda Sulsel pada umumnya. Meski demikian, data di atas bukan hanya soal angka semata, mengingat aksi itu dilakukan oleh kalangan terdidik dan waktu kejadiannya di tengah dunia kampus yang sedang menjadi sorotan belakangan.
Dari kasus guru besar yang terlibat perjokian karya ilmiah, mutu dosen yang rendah, rektor yang korupsi terus bertambah, dan kini dengan aksi tawuran para mahasiswanya. Melengkapi derita dunia kampus dari atas sampai bawah, terlibat masalah akut.