ASMAWI mengaku tidak menyesal dengan pengalaman tersebut. Pada masa para aktivis ditahan ada keputusan tidak tertulis bahwa mereka yang berkaitan dengan kasus Malapetaka 15 Januari 1974 (Malari) di Jakarta tertutup peluangnya menjadi pegawai negeri dan sejenisnya.
Tetapi Amiruddin yang menjabat Rektor Unhas ketika itu punya taktik sendiri ‘mengelabui’ kebijakan tersebut. Para aktivis itu diangkat dulu jadi dosen baru disuruh pergi sekolah ke luar negeri. Kak Taslim Arifin dan Madjid Sallatu yang dikirim ke Filipina, misalnya. Setelah meraih gelar “magister of arts” (M.A.) mereka kembali. Situasi pun sudah berubah.
“Itu menjadi guru kehidupan bagi saya. Ada tiga ‘jimat’ (hal) yang membuat saya ‘survive’. Pertama, pernah menjadi aktivis mahasiswa. Kedua, aktivis organisasi ekstra-universitas Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), dan ketiga aktif dalam olahraga karate. Ketiga-tiganya diapresiasi oleh teman-teman oleh teman-teman aktivis dari kampus lain dalam pertemuan lima hari yang lalu,” beber Asmawi dalam pertemuan yang juga dihadiri Andi Muhammad Akhmar, Direktur Hubungan Alumni dan Pengembangan Dana Abadi Unhas.
Mereka bercerita saat berkumpul dengan Asmawi, rupanya para aktivis mahasiswa Unpad itu sekembali dari Makassar (dulu Ujungpandang) dan tiba di Bandung, semuanya diinterogasi. Kebetulan mereka baru bercerita saat meninggal salah seorang mantan Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Ekonomi Unpad, Adi Jamal yang berkarier di Kantor Pajak. Perekat jaringan ini, bukan hanya karena berasal dari universitas melainkan lantaran latar belakang sebagai aktivis.