PEDOMANRAKYAT, MAROS – Tagline ‘Justice For Virendy’ (Keadilan untuk Virendy) yang sejak Januari 2023 digaungkan kalangan mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin bersama keluarga besar almarhum, kini realisasinya diserahkan sepenuhnya kepada hati nurani majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Maros yang mengadili perkara kematian mahasiswa Arsitektur FT Unhas dan putra seorang wartawan senior di Makassar.
Harapan untuk menanggapi tuntutan pidana yang dibacakan jaksa penuntut umum, Sofianto Dhio, SH di depan sidang, Senin (15/07/2024) kemarin, diungkapkan kakak kandung Virendy, yakni Viranda Novia Wehantouw yang didampingi ibunya, Ny Femmy Lotulung dan kuasa hukumnya, Yodi Kristianto, SH, MH ketika memberikan keterangan pers kepada wartawan, Rabu (17/07/2024) di Virendy Cafe Jl. Telkomas Raya No.3 Makassar.
Sebagaimana dikemukakan tim jaksa penuntut umum dari Kejaksaan Negeri Maros yang diketuai Alatas, SH pada bagian akhir surat tuntutannya setebal 43 halaman, menuntut majelis hakim PN Maros menyatakan kedua terdakwa kasus kematian Virendy yakni Muhammad Ibrahim Fauzi dan Farhan Tahir telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud Pasal 359 Jo Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP (karena kelalaian menyebabkan orang mati).
Atas dasar itu, jaksa menuntut majelis hakim yang pada persidangan kemarin dipimpin Firdaus Zainal, SH, MH menggantikan posisi Khairul, SH, MH, Ketua PN Maros yang kini pindah tugas sebagai Ketua PN Kediri, menjatuhkan pidana penjara selama 8 (delapan) bulan kepada terdakwa Muhammad Ibrahim Fauzi dan Farhan Tahir, serta memerintahkan agar keduanya segera dimasukkan kedalam tahanan setelah putusan dibacakan.
Selain itu, jaksa menuntut pula kepada majelis hakim untuk membebankan kedua terdakwa membayar restitusi (ganti kerugian) sebesar Rp 118.040.000,- (Seratus Delapan Belas Juta Empat Puluh Ribu Rupiah) kepada keluarga almarhum Virendy yang diajukan melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban – Republik Indonesia (LPSK RI), dengan ketentuan jika tidak mampu membayar maka diganti pidana penjara selama 3 (tiga) bulan.
Jaksa juga menuntut majelis hakim menyatakan barang bukti berupa sejumlah surat yang terkait dalam pelaksanaan kegiatan Diksar & Ormed XXVII UKM Mapala 09 FT Unhas agar tetap terlampir dalam berkas perkara, sementara 1 (satu) lembar baju kaos lengan panjang warna merah (milik almarhum Virendy) dirampas untuk dimusnahkan, dan membebankan kedua terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp 5.000,- (Lima Ribu Rupiah).
Dalam mengajukan tuntutan pidananya, jaksa mempertimbangkan beberapa hal yang memberatkan dan meringankan. Untuk hal memberatkan, perbuatan terdakwa telah mengakibatkan korban Virendy meninggal dunia saat mengikuti kegiatan Diksar & Ormed XXVII UKM Mapala 09 FT Unhas (9-15 Januari 2023). Sebelum meninggal dunia, korban sudah drop dan mengeluh sakit, namun para terdakwa masih memaksakan korban untuk melanjutkan kegiatan.
Selanjutnya, kedua terdakwa bukannya langsung mengevakuasi korban ke fasilitas kesehatan (faskes) terdekat, tetapi sebaliknya terdakwa Ibrahim justru menyuruh terdakwa Farhan pergi ke Camp 5 mencari motor. Setelah mendapat motor dan kemudian mengevakuasi korban ke Camp 5. Padahal kedua terdakwa mengetahui tidak ada tenaga medis ataupun tenaga kesehatan di Camp 5 yang dapat memberikan pertolongan kepada korban.
Sementara hal yang meringankan menurut jaksa, kedua terdakwa bersikap sopan di persidangan, mengakui perbuatannya, masih berusia muda dan sementara menjalani pendidikan serta belum pernah dihukum. Jaksa juga menyebutkan bahwa korban mendapat izin orang tua untuk mengikuti kegiatan tersebut. Bahkan dikemukakan pula jika Virendy mengidap penyakit bawaan saat mengikuti Diksar & Ormed XXVII UKM Mapala 09 FT Unhas.
Tidak Mencerminkan Keadilan
Menyikapi tuntutan pidana terhadap terdakwa Ibrahim Fauzi dan Farhan Tahir serta beberapa poin dalam pertimbangan hukum yang diuraikan jaksa penuntut umum, Viranda Novia Wehantouw selaku pelapor di kepolisian atas kematian adiknya, di depan sejumlah awak media mengaku sangat kecewa berat mendengar tuntutan hukuman yang sama sekali tidak mencerminkan keadilan hukum dan terkesan adanya keberpihakkan serta dugaan berupaya menyembunyikan pengungkapan pelaku-pelaku yang diduga terlibat penganiayaan/kekerasan maupun tindak pidana lainnya.
“Inikah bentuk keadilan buat nyawa adik saya ? Ancaman pidana dari Pasal 359 KUHP adalah hukuman penjara maksimal 5 (lima) tahun, tapi kok jaksa hanya menuntut hukuman 8 (delapan) bulan penjara ? Ada apa yah ? Saat ini saya bersama saudara-saudara kandungku, dan juga keluarga besar kami dimana saja berada, serta adik-adik mahasiswa yang sejak awal selalu mensupport dan berjuang bersama dalam upaya menguak misteri terenggutnya nyawa Virendy secara tragis dengan sejumlah luka, lebam dan memar di beberapa bagian tubuhnya, hanya bisa menyerahkan sepenuhnya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dan majelis hakim PN Maros untuk menjatuhkan putusan yang seadil-adilnya dan bersesuaian hukum,” ucap Viranda dengan suara terisak sedih.