PEDOMANRAKYAT, MAKASSAR — Ilmu fisiologi lingkungan dan bioenergetika memberikan dasar ilmiah yang kuat untuk mengatasi tantangan dalam akuakultur, mulai dari manajemen kualitas air, optimasi pakan, hingga adaptasi terhadap perubahan iklim. Dengan menerapkan prinsip-prinsip ini, industri akuakultur dapat berkembang secara berkelanjutan dan efisien, sambil meminimalkan dampak negatif terhadap lingkungan.
“Mudah-mudahan ide-ide ini akan membantu kemajuan ilmu pengetahuan di bidang fisiologi lingkungan, serta di bidang perikanan, kelautan, dan bidang-bidang lain yang terkait,” kata Prof.Ir. Muhammad Iqbal Djawad, M.Sc., Ph.D. saat menyampaikan Pidato Pengukuhan dan Penerimaan sebagai Anggota Dewan Profesor dalam Bidang Ilmu Fisiologi Lingkungan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin pada Rapat Paripurna Senat Akademik Universitas Hasanuddin, Selasa (18/2/2025).
Dalam orasi yang berjudul “Fisiologi Lingkungan, Bioenergetika dan Stresor: Tantangan yang Dihadapi Akuakultur” Maha Guru kelahiran Makassar 18 Maret 1967 ini mengatakan, kebutuhan sumber protein yang meningkat dengan pesat serta merta diikuti oleh intensifikasi produksi akuakultur dengan kualitas lingkungan budidaya yang tidak sesuai persyaratan minimal seperti kualitas air, padat penebaran, pola makan, status sanitasi, polusi, kontaminan dan lain-lain yang potensial mengakibatkan strss akut atau kronis pada organisme akuakultur. Stress yang kemudian berdampak pada penurunan produktivitas.
“Oleh karena itu masyarakat akuakultur harus berkolaborasi dengan para peneliti lain untuk membangun kesadaran pentingnya memahami dasar fisiologis dan perilaku dari respons stres dan kesehatan pada ikan,” ujar lulusan S-1 Unhas (1987) mengutip Huntingford et al., 2006; Braithwaite dan Ebbesson, 2014; Castanheira et al., 2017).
Lulusan S-2 (1994) dan S-3 (1997) Hiroshima University, Jepang ini menyebutkan, beberapa spesies dari ikan budidaya ekonomis penting memiliki potensi besar untuk akuakultur. Sayangnya, kurangnya biomarker terkait stres dalam takson masih menjadi hambatan untuk mengevaluasi kondisi pemeliharaan.
“Beberapa hasil penelitian mitra saya di Jepang memperlihatkan respons stres fisiologis pada ikan-ikan akuakultur yang dipicu oleh hormon kortisol,” ujar wisudawan termuda Unhaas tahun 1987 (dalam usia 20 tahun) itu dalam pidato pengukuhan yang diikuti secara daring oleh Hiroshima University, Jepang dan Ohio State University, Amerika Serikat.
Di Universitas Hasanuddin, imbuh suami Meta Sekar Puji Astuti, S.S.,M.A.,Ph.D. yang dosen FIB Unhas itu, menunjukkan ,b pertumbuhan terbaik pada larva-larva ikan laut terjadi pada aktivitas yang lebih dari biasanya diakibatkan adanya gangguan lingkungan dan dikaitkan dengan peningkatan kadar kortisol. Walaupun demikian, responsnya tidak secara langsung dimediasi oleh reseptor glukokortikoid (GR). Hal ini nampak pada larva ikan kerapu dan kakap yang memiliki sensitivitas yang berbeda terhadap stress lingkungan, yang mungkin saja terjadi terkait dengan perbedaan ekspresi dan fungsi glukokortikoid.