PEDOMANRAKYAT, MAKASSAR – Dr. Sutiono Sinansari ecip telah menanamkan sistem manajemen redaksi yang kemudian menjadi modal bagi perkembangan harian “Fajar” hingga saat ini.
“Pak ecip dengan beberapa tenaga yang diambil di Unhas, dan di tempat lain, pada saat itulah kita membuat kondisi berhadapan dengan penguasa yang akhirnya Pak Alwi Hamu harus berhadapan dengan petugas hukum. Harus diadili karena memberitakan informasi yang menimbulkan kegelisahan penguasa,” ujar Komisaris Utama Media Fajar Group H.Syamsu Nur mengawali acara peluncuran buku di lantai 4 Graha Pena, Makassar, Senin (15/9/2025) petang.
Meskipun ada keputusan Alwi Hamu dinyatakan harus dihukum, namun tidak pernah dilaksanakan hingga akhir hayatnya. Bahkan, Pak Alwi mendapat penghargaan karena diberi kesempatan belajar jurnalisme di Singapura. Pada tahun 1981 hingga 1989, “Fajar” memasuki era baru dengan teknologi baru dan media berhasil memasuki dua teknologi dengan bekerja sama dengan jaringan Jawa Pos sampai saat ini.
Banyak teman di “Fajar”, kata Syamsu Nur, sudah ada berkiprah di tempat lain, namun itu tidak lepas dari jasa Pak ecip. Syamsu Nur sendiri berasal dari Fakultas Teknik Unhas yang tidak pernah belajar mengenai pers, namun bersama Pak ecip, Ronald Ngantung, bekerja di ‘dapur’ harian “Fajar” dari pagi sampai pagi.
“Apa yang terdapat dalam buku ‘Resonansi 80 Tahun Pak ecip ini masih relevan dengan perkembangan zaman,” ujar Syamsu Nur dalam peluncuran buku yang diterbitkan Penerbit Almaidah Kompleks Paopao Gowa Juli 2025 tersebut.
Buku “Resonansi 80 Tahun S. Sinansari ecip, Perspektif Sahabat dan Murid” dipoles Prof. Dr. H. Firdaus Muhammad, M.A. sebagai editor. Di dalam buku setebal XVIII+270 halaman ini memuat testimoni sebanyak 40 sahabat dan murid Pak ecip. Mereka itu, Andi Makmur Makka, Andi Wanua Tangke, Abdul Gaffar, Abdul Khalik Agatha Lily, Ahmadie Thaha, Aidir Amin Daud, Alip Yog Kunandar, Amar Ahmad, Anwar Arifin, Anif Punto Utomo, Aswar Hasan, Aspar Paturusi, Baso Amir, D. Zawawi Imron, Evy Hudriyah, Faried Maruf Ibrahim, Faisal Syam, Hafied Changara, Hamid Awaluddin, Helmi Hidayat, Ida Sagaff, Imam Suharjo, M. Dahlan Abubakar, Muh. Akbar, Muh. Syukri, Parni Hadi, Risma Niswaty, Rusdin Tompo, Ruslan Ramli, Sapto Anggoro, Saiful Bohari, Syamsu Nur, Syamsuddin Azis, Tantri Relatami, Uslimin, Waspada Santing, Yundini Husni Djamaluddin, dan Yudhistira Sukatanya.
Beberapa pemberi testimoni ikut menyampaikan secara singkat catatannya di dalam buku pada forum tersebut. Di antaranya Aidir Amin Daud, Muh. Akbar, M. Dahlan Abubakar, Andi Wanua Tangke, Yudistira Sukatanya, Rusdin Tompo, Abdul Gaffar, Faisal Syam, Nur Alim Jalil, Risma Niswaty, Waspad Santing, dan Yundini Husni Djamaluddin yang menyampaikan catatan melalui komunikasi zoom.
Buku ini dibuka dengan Pengantar Editor Prof. Dr. H. Firdaus Muhammad, M.A., dengan judul “Mata Elang Guru Jurnalis, Akademis, dan Penulis. Puisi D.Zawawi Imron berjudul “Dalam Hutan ‘Bersama Sinansari ecip’. D.Zawawi Imron menulis begini.
/Hutan ini mengajarkan harmoni/Bagaimana angin membisiki daunan/Dan burung pun berkicau tanpa lidah yang keseleo/Selintas hanya menyanyikan lagu yang sudah-sudah/Padahal itu ada maksudnya/Ada maksudnya/
/Jangan bicara soal waktu di sini/Kita di luar hari dan tahun/Inilah sediakala, inilah purbakala/Engkau dan aku sama-sama telanjang/Tanpa kebutuhan syahwat/Makanya sujud menjadi indah/
/Di atas seni dan filsafat/Karena yang tiga bukan yang empat/Dan hidup bukan sekadar bermain sempat/Itulah perlunya zikir dan doa/
/Detik-detik berjalan sangat perlahan/Sangat perlahan/Kita nikmati persaudaraan/Sehingga tak ada bedanya/Jauh dan dekat/Allahu Akbar/
/Fitrah ini Bagai hamparan kisah/Yang menuju keabadian/Ada sejuta semoga dalam Amin/.