PEDOMANRAKYAT, BULUKUMB – Sore di Bulukumba jatuh dengan lembut, sementara di layar kecil gawai, wajah-wajah dari dua kota berbeda bertemu dalam satu percakapan. Di antara sinar senja dan sinyal internet yang kadang tersendat, Sekolah Anak Desa (SaESA) kembali membuka ruang dialog — kali ini bersama Indah Widia Sari, fasilitator dari Sanggar Anak Alam (SALAM) Yogyakarta.
Topik mereka sederhana, tapi menyentuh akar paling dalam dari dunia pendidikan: sebab sekolah tidak sekaku itu.
Selama ini, banyak dari kita mengenal sekolah sebagai bangunan berdinding tebal, dengan kursi tersusun rapi dan papan tulis di depan kelas. Sebuah sistem yang rapi, tapi sering juga kaku. Namun, SALAM menawarkan cara pandang lain. Di sana, sekolah bukan sekadar ruang fisik. Ia adalah ekosistem tempat anak, fasilitator, dan lingkungan belajar saling mendengar dan tumbuh bersama di bawah payung: Warga SALAM.
Melalui live Instagram yang dimulai pukul 17.00 WITA, SuarAsaESA menyalurkan percakapan ini kepada siapa pun yang ingin mendengarkan. Platform yang biasa dipenuhi foto-foto perjalanan dan video pendek itu, sore itu berubah menjadi ruang belajar digital. Di sanalah lahir gagasan bahwa sekolah bisa lebih lentur, lebih manusiawi.
“Saya pikir sekolah bisa menjadi merdeka ketika dia tidak terjebak pada tembok dan sembunyi di bawah kursi yang menafsirkan kekakuan. Sekolah itu ruang dialog,” ujar Indah Widia Sari, fasilitator SALAM sekaligus narasumber sore kali ini.
Pernyataan itu seperti membuka tirai. Bahwa sekolah tak semestinya menjadi tempat yang menakutkan atau membatasi, melainkan sebuah ruang yang hidup — seperti alam yang tak pernah berhenti bergerak.
Pertanyaan pun mengalir di antara jeda sinyal dan tawa kecil.
Apakah sekolah masih disebut sekolah jika tidak berada dalam bangunan megah? Apakah kecerdasan hanya bisa tumbuh dari sistem yang seragam? Apa yang membuat sekolah itu jadi kaku?