Oleh: M. Yadi Sofyan Noor, Ketua Umum Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Nasional
Tulisan RMOL berjudul “Isapan Jempol Swasembada Beras Amran Sulaiman” karya Defiyan Cori memperlihatkan betapa sebagian ekonom masih terperangkap dalam cara pandang lama yang menganggap swasembada sebagai mitos dan impor sebagai keniscayaan. Mereka menulis dengan nada pesimis, seolah Indonesia tidak akan pernah bisa mandiri dalam pangan. Namun kenyataan di lapangan berkata lain.
Data resmi Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa produksi beras nasional periode Januari–November 2025 mencapai 33,19 juta ton, melampaui produksi tahun 2024 yang sebesar 30,62 juta ton dan juga lebih tinggi dari kebutuhan nasional tahunan sekitar 30–31 juta ton. Artinya, Indonesia tidak hanya cukup beras, tetapi mengalami surplus produksi.
Bukan hanya BPS yang mencatat lonjakan produksi. Dua lembaga internasional independen juga memotret hal yang sama. FAO (Food and Agriculture Organization) memproyeksikan produksi beras Indonesia tahun 2025 mencapai sekitar 35,6 juta ton. USDA (United States Department of Agriculture) memproyeksikan produksi beras Indonesia 2025 sebesar 34,6 juta ton.
Ini adalah data resmi lembaga internasional, bukan data yang dibuat Kementan. Bila ada pengamat yang tidak suka atau merasa keberatan, sangat disarankan protes keras saja kepada FAO dan USDA, karena Kementan tidak membuat data sendiri. lembaga-lembaga dunia lah yang menegaskan bahwa produksi beras Indonesia memang meningkat tajam.
Peningkatan yang signifikan ini terjadi berkat langkah-langkah konkret di bawah kepemimpinan Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman. Ia tidak banyak beretorika, tetapi bekerja di lapangan. Pemerintah mengoptimalkan lahan tadah hujan agar bisa ditanami dua hingga tiga kali setahun, memastikan penyaluran pupuk sesuai kebutuhan petani dengan kuantum 9,55 juta ton, serta menurunkan harga pupuk hingga 20 persen, kebijakan bersejarah yang belum pernah terjadi sebelumnya. Selain itu, benih unggul didistribusikan lebih luas dan mekanisasi pertanian digencarkan secara masif.
Hasilnya nyata: sawah-sawah kembali produktif, biaya petani menurun, dan panen meningkat. Ini bukan keberuntungan, tetapi hasil kerja yang terencana dan berpihak.

