Oleh: Neny Vinawaty
Mahasiswa Program Studi Manajemen Zakat dan Wakaf
Fakultas Agama Islam, Universitas Muhammadiyah Jakarta
Potensi zakat nasional Indonesia sangat besar. Berbagai riset menunjukkan bahwa potensi zakat mencapai Rp 327 triliun per tahun, namun realisasi penghimpunannya masih berkisar pada Rp 30–40 triliun (puskasbaznas.com).
Salah satu tantangan terbesar terletak pada pola distribusi zakat yang selama ini cenderung bersifat konsumtif, seperti pemberian uang tunai sesaat atau paket kebutuhan pokok. Program seperti ini memang penting, namun efek jangka panjangnya terhadap pengentasan kemiskinan terbukti terbatas.
Pada era sekarang, ketika kemiskinan dan kesenjangan ekonomi masih menjadi masalah besar, zakat tidak bisa lagi dipandang sebatas “bantuan sekali jalan” yang hanya disalurkan dalam bentuk konsumtif (bantuan tunai, paket bantuan sembako, beasiswa). Meskipun bermanfaat, distribusi seperti ini sering kali hanya menyelesaikan masalah sesaat. Ketika bantuan habis, penerima dapat kembali ke garis kemiskinan.
Karena itu, kita membutuhkan model zakat yang dapat membawa mustahik menuju kemandirian. Model tersebut adalah *zakat produktif*, yaitu zakat yang digunakan sebagai modal usaha, alat produksi, atau sarana pemberdayaan ekonomi.
Untuk memastikan zakat produktif tetap sejalan dengan syariah, kita perlu kembali kepada dasar fikih zakat dan prinsip tamlik (kepemilikan muzakki/mustahik).
Dalam fikih klasik, zakat wajib disalurkan kepada asnaf yang berhak. Setelah diserahkan, harta zakat menjadi milik penuh mustahik. Prinsip ini dikenal sebagai Tamlik Ma’nawi (kepemilikan manfaat) atau Kepemilikan Alat Produksi.
Artinya, mustahik menerima hak kepemilikan atas hasil dari usaha/modal, atau kepemilikan penuh atas alat produksi (mesin, ternak, bibit), yang diharapkan mengubah statusnya dari penerima menjadi pemberi zakat.
Namun, modal usaha atau alat produksi bukanlah “konsumsi” langsung melainkan aset produktif.
Maka muncul pertanyaan: apakah tetap sah jika zakat diberikan dalam bentuk modal usaha dan disertai pendampingan dalam pengelolaan usaha?
Pemikiran ulama kontemporer seperti Yusuf al-Qardhawi menegaskan bahwa zakat boleh dialihkan dalam bentuk pemberdayaan ekonomi. Dalam tulisan “Zakat Produktif Pendayagunaan Zakat untuk Pemberdayaan Ekonomi Umat” disebutkan bahwa zakat produktif memungkinkan mustahik mengelola modal sehingga “harta tersebut dimanfaatkan sebagai modal untuk meningkatkan taraf ekonomi mustahik” (Jurnal STAI Al Hidayah Bogor).
Lebih jauh, penelitian-penelitian kontemporer menunjukkan bahwa zakat produktif dapat meningkatkan kualitas hidup mustahik asalkan dikelola secara adil, transparan, dan tetap berpegang pada prinsip syariah (E-Journal Universitas Darussalam Gontor).
Baru-baru ini, hadir regulasi nasional yang memperkuat praktik tersebut secara resmi. Kementerian Agama Republik Indonesia (Kemenag) menerbitkan PMA 16 Tahun 2025, sebuah regulasi yang memungkinkan dana zakat dikelola dalam bentuk usaha produktif.
Ini bukan sekadar perubahan administratif, melainkan pembuka jalan bagi zakat agar dapat “bekerja” dan memberikan dampak nyata, berupa modal usaha, alat produksi, pelatihan, hingga pendampingan bagi mustahik (lampung.baznas.go.id).
PMA 16/2025 yang ditetapkan pada 14 Oktober 2025 dan berlaku mulai 16 Oktober 2025, mengatur bahwa zakat dapat digunakan untuk usaha produktif dengan syarat bahwa kebutuhan dasar mustahik (pangan, sandang, papan, pendidikan, kesehatan) telah terpenuhi. Artinya, pemanfaatan zakat produktif tidak boleh mengabaikan kebutuhan primer mustahik.

