PEDOMANRAKYAT-Makassar.
IBU kota lebih kejam daripada ibu tiri. Pameo itu sangat boleh jadi masih tetap menjadi kenyataan bagi orang orang yang mencoba bertarung hidup di kota metropolitan dengan keterampilan dan pendidikan formal yang relatif rendah.
Kepahitan hidup dan kejamnya ibu kota juga dialami oleh Abbas Daeng Rurung,
(65) sehari-hari kini menjalani rutinitas hidup dengan menjual ayam kampung di Pasar Jongkok Borong Jambu Perumnnas Antang Makassar.
Kepada media Ahad (6/2/2022), Daeng Rurung mengatakan, menjual ayam kampung di pasar yang hanya ramai pagi jelang siang ini telah dilakoni sejak 3 tahun lalu.
Pria kelahiran Bulujaya Jeneponto 1955 ini, dalam menjalankan jualan ayamnya menggunakan becak motor yang telah dimodifikasi sehingga di atas becak itu bertengkar kurungan ayam terbuat dari besi.
Ayam yang di jual itu berasal dari para pengumpul ayam kampung berasal dari kampung Macinna Maros serta Bontojai Malino Gowa, katanya
Biasanya sekali pesan sampai 20 ekor ayam dan biasanya akan laku selama tiga pekan.
Soal keuntungan dari jual ayam relatif kecil antara Rp 5.00-Rp.15.000, per ekor, sehari yang lalu tidak tentu antara 2 sampai 5 ekor tetapi pada waktu hari libur yang laku lebih dari itu. Pendapatan bersih per hari saat pasar normal Rp 50.000-Rp.100.000.
Selain itu Daeng Rurung juga menerima ongkos jasa menyembelih ayam dan membersihkan serta memotong motong ayam siap masak satu ekor Rp 10.000, tandasnya.
Tetapi pada saat hari raya Idul Fitri, ayam kampung bisa laku 100 ekor dan ayam ras bisa laku 300 ekor. Rata rata harga ayam kampung ukuran besar Rp. 100.000 - Rp.125.000,-.Ayam ukuran kecil harganya sekitar Rp. 70.000-Rp.75.000.
Pada saat lebaran Idul Fitri keuntungan dari jualan ayam dapat mencapai sekitar Rp 2 juta, sedangkan pada saat Idul Adha dapat mencapai Rp. 1 juta.
Jauh sebelum menekuni jual ayam dalam waktu yang lama dia menjadi buruh buruh kasar di Pelabuhan Laut Soekarno Hatta.
Selama lima belas tahun menjalani profesi buruh pelabuhan dengan menggunakan tenaga otot, dia baru berlari memburu penumpang yang akan angkat atau di turunkan barang bawaan dari kapal Pelni yang sandar di pelabuhan itu.
Usia terus bertambah dan fisik mulai menurun sehingga kerja buruh pelabuhan ditinggalkan dan memilih jadi tukang becak motor (bentor).
Profesi bentor dijalani selama lima tahun sampai kemudian kendaraan konvensional ini kalah bersaing dengan kendaraan menggunakan aplikasi digital.
Ketidakmampuan beradaptasi dengan angkutan digital sehingga bentornya di ubah jadi kurungan ayam tempat menjual ayam di pasar.
Pria berusia 67 tahun ini tamat SD Rajaya 1972 dan SMP Guppi Canrego, Takalar 1980 tapi tidak tamat.
Awalnya dia bertani mengikuti profesi orang tuanya dan di wariskan dari nenek moyang leluhurnya.
Mencari suasana baru sempat menjadi transmigran lokal di Sabbang tetapi tidak bertahan lama dan kembali ke Makasar langsung jadi buruh angkut barang di pelabuhan kapan laut Pelabuhan Soekarno Hatta.
Daeng Rurung kini dikaruniai 3 anak dan 11 cucu. Saat pembeli melonjak para hari raya beberapa anaknya ini turun ke pasar membantu bapaknya melayani para pembeli. (yahya).