Oleh : Mahrus Andis, Budayawan, Kritikus Sastra, dan Mubalig
Di kampung saya, di belakang rumah orang tua, ada muara sungai yang membentang dari Barat ke Selatan. Di antara muara dan bibir pantai, di situlah tempat saya dan teman-teman seusia sering bermain pasir, berkejaran sambil menanti kedatangan rombongan kerbau melintas menuju kandang. Biasanya kerbau kembali ke kandang menjelang Magrib.
Puncak kegembiraan ketika rombongan kerbau-kerbau itu sudah melintas di tempat kami menunggu. Saya dan teman-teman segera mencari kerbau tunggangan masing-masing.
Tedong Coko, kerbau yang ujung tanduknya menghadap ke bawah adalah pilihan saya. Kerbau seperti ini biasanya tidak liar, tenang, penurut, namun kurang peduli. Karena wataknya itulah sehingga Tedong Coko sering disifatkan kepada manusia yang suka bermasabodoh.