Melihat kondisi Rosmiati, dan kesungguhan Aisya mencari nafkah meski masih belia, sutradara Film Air Mata Jendi ini pun mengharapkan, kiranya tuhan menurunkan hidayahnya untuk kesembuhannya.
“Sebagai hamba tuhan, kita wajib berdoa. Itu tidak terlepas dari hadis nabi yang menyebutkan, tidak ada penyakit yang tidak ada obatnya. Karena itu, jika sudah ada donatur yang membantu, saya yakin Rosmiati bisa sembuh. Kesembuhan Rosmiati sangat diharapkan, untuk melihat masa depan anak-anaknya,” tutupnya.
Seperti diketahui, sebenarnya Aisya adalah anak terhebat. Dia mampu melihat kondisi ibunya yang membutuhkan biaya pengobatan yang begitu besar. Disaat ibunya membutuhkan biaya pengobatan, ayahnya meninggalkan mereka. Makanya, Aisya rela menjual kue donat. Sekalipun keuntungan yang diperoleh tidak seberapa, tetapi dia sudah mampu mengambil peran ayahnya.
Di sisi lain, Rosmiati adalah anak bungsu dari empat bersaudara. Sebelum menderita sakit, dia bekerja di gudang roti di Jalan Gunung Bawakaraeng. Tetapi, entah mengapa, dia menderita seperti ini.
Di gudang roti itu, setiap hari Rosmiati memperoleh upah lebih Rp 100.000, namun setiap minggu baru didapat. Dia bekerja di gudang roti itu sekitar tiga tahun. Tetapi, kini sudah lebih dua tahun dia tidak bisa bangun. Tangannya tidak bisa goyang, badannya menghitam, kakinya tidak bisa lurus.
Kini berat badannya pun lebih ringan dari lebih 50 kilo saat masih sehat, kini hanya tinggal beberapa kilo saja.
“Pertamanya sakit memang di gudang. Awalnya panas, kemudian dibawa ke rumah sakit. Dia bilang sakit di kepalanya. Lama kelamaan, seluruh badannya sakit, hingga tidak bisa bangun. Saat itu, anak saya ini bertanya, bagaimana bisa begini badanku. Saya tidak bisa bangun,” tutur ibunya menirukan ucapan Rosmiati.
Lalu mengapa keluarga Rosmiati tidak membawanya ke rumah sakit untuk berobat ? Tidak lain karena, keterbatasan dana. “Kami berharap Rosmiati bisa berobat di rumah sakit, supaya bisa cepat sembuh. Tapi, masalah yang timbul, tidak ada uang,” tambah ibunya.
Sementara rumah yang ditempati, Rosmiati mengaku bukan rumah pribadinya, melainkan rumah keluarganya dari ibunya. Pemilik rumah petak-petak berlantai dua yang terbuat dari papan yang sudah termakan usia itu memberinya salah satu kamar yang tersambung dengan dapur di lantai II. Hanya saja, untuk ke lantai II harus berhati-hati. Selain papan menuju kamar yang ditempat Rosmiati bersama ibu dan kedua anaknnya sudah rapuh. Sudah berlubang. Mudah patah, sehingga kalau tidak hati-hati bisa jatuh. (din pattisahusiwa)