Oleh : Mahrus Andis, kritikus sastra tinggal di Bulukumba
Menilik tahunnya, puisi berjudul Lurah Baik tak Bernasib Baik tersebut ditulis Rusdin Tompo di era Makassar berbenah menjadi kota seni-arsitektural: Kota sebagai sentra peradaban milenial di wilayah selatan Pulau Sulawesi.
Namun, rupanya gagasan ini menjadi kandas di sebuah pencitraan, paling tidak, di sudut pandang seorang penyair. Karena itu, Rusdin menulis:
"Makassar metropolitan semakin megah/
tapi warga banyak yang kalah/
mereka tak terkerek hitungan/
kebijakan tak melulu diarahkan untuk kesejahteraan/
pemerintah kota sibuk berebut pencitraan ... "
Sebuah kebijakan, apabila berangkat dari idealisme pencitraan, tentu gaungnya berdampak politis. Dan akibat yang muncul adalah frame like and dislike: paradigma suka dan tidak suka seorang atasan terhadap bawahannya.
Pada puisi ini, penyair seakan melihat sisi lain dari kebijakan smart city tersebut. Dia memotret sudut pandang loyalitas bawahan yang tereksploitasi kinerjanya menjadi sikap ketidakpatuhan terhadap perintah atasan.
Karena itu, terjadilah opini kritis di ruang publik dan direkam penyair di dalam sebuah puisi kritik. (bersambung)