Pasal XV : Barang siapa menyiarkan kabar yang tidak pasti atau kabar yang berkelebihan atau yang tidak lengkap, sedangkan ia mengerti setidak-tidaknya patut dapat menduga, bahwa kabar demikian akan atau mudah dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya dua tahun.
Seperti diketahui bahwa para pengusul itu mengklaim memiliki big data yang tidak bisa diverifikasi kebenarannya, jika data yang mereka punya mayoritas penduduk Indonesia menginginkan Pemilu 2024 ditunda. Sehingga klaim itu dapat dipastikan sebagai berita hoax dan bohong yang dipergunakan untuk melakukan propaganda sekaligus menciptakan keonaran di masyarakat serta mengadu domba antar elemen masyarakat.
Padahal Presiden Jokowi sendiri berulangkali menyatakan jika Presiden akan taat konstitusi dan memastikan jika Pilpres 2024 akan dilaksanakan pada tanggal 14 Februari 2024.
Senada dengan Presiden Jokowi, Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri juga telah menegaskan jika partainya telah meminta masyarakat untuk tunduk dan patuh terhadap konstitusi yang mengatur masa jabatan Presiden hanya dua periode dan tidak bisa maju lagi dalam Pilpres selanjutnya.
Begitu juga halnya pernyataan Ketua DPD RI, La Nyala Matalitti yang menyatakan jika masyarakat harus tunduk dan patuh terhadap konstitusi. Keingginan masyarakat untuk menunda Pemilu 2024 berdasarkan big data itu dibantah oleh Ketua DPD yang menyatakan jika DPD juga punya big data yang justru menolak penundaan Pemilu 2024 itu. Keingginan penundaan itu menurut La Nyala hanyalah keinginan segelintir politisi serta menggunakan hasil survey dari lembaga survey bayaran kelas kambing.
Jadi sangat jelas pernyataan dari para Ketua Umum Partai yang mengusulkan penundaan Pemilu itu adalah sebatas klaim dan masuk kategori penyebaran berita bohong untuk menimbulkan keonaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal XIV UU No 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. (*)