“Ya..kadang-kadang Rp 700.000 sampai Rp 800.000,” sahutnya lagi.
Daeng Sikki pernah mendapat perlakuan yang kurang enak dari orang-orang di sekitar kami bertemu. Hari itu, dia dituding sebagai pencuri yang menyaru sebagai pemulung. Namun, lelaki ini bergeming. Tetap tidak mau menerima dirinya dituduh sebagai pencuri.
“Saya ini menjadi pemulung mencari rezeki yang halal, tidak mau melakukan perbuatan yang berdosa,” katanya.
Daeng Sikki mengatakan, jika saja orang itu ngotot menudingnya, dia bersiap akan membela diri dengan membuat perhitungan. Untung saja, dia masih mampu mengendalikan diri dan tetap sabar.
“Jangan anggap saya ini sebagai pemulung lantas seenaknya saja dituduh-tuduh macam-macam. Saya ini mencari rezeki yang halal dari Allah swt,” katanya penuh semangat.
Bercerita mengenai rumah tangganya, Daeng Sikki mengisahkan, dia dan istrinya 10 tahun baru dikaruniai anak. Oleh sebab itu, awal-awal mereka menikah istrinya pernah menuduhnya sebagai bencong. Rupanya, istrinya tidak tahu kalau Daeng Sikki sengaja belum mau punya anak cepat-cepat. Namun ketika lahir anak pertamanya, yang kini dia sebut berusia 40 tahun dan sudah menikah serta punya 2 anak, istrinya melahirkan secara maraton hingga tujuh anak. Empat laki-laki dan tiga perempuan.
Anak yang sudah besar, pertama dan kedua, bekerja serabutan. Yang pertama bekerja sebagai buruh bangunan, sementara yang kedua sebagai tukang las. Daeng Sikki berpesan kepada keduanya agar jangan bekerja pada bidang dan usaha yang sama. Alasannya, kalau yang satu libur, pasti yang lain juga libur. Jadi tidak ada pemasukan.
Akibat kesulitan ekonomi, anak-anaknya tidak ada yang melanjutkan pendidikan. Anaknya rata-rata tamatan SMA. Anak perempuannya yang bungsu, pun kini duduk di SMA. Dia berharap setelah tamat dapat memperoleh pekerjaan. Tiga anaknya sudah menikah, empat orang – dua laki-laki dan dua perempuan – belum menikah.
“Dia ini lebih baik tidak makan ikan daripada tidak sekolah,” ungkap Daeng Sikki mengenai anak perempuannya yang bungsu itu.
“Di rumah, saya memiliki banyak botol kosong,” kata saya.
“Di mana rumahnya ?” dia balik bertanya dan saya pun menjelaskan alamat rumah secara garis besar.
“Jauh kasihan, saya ini hanya berjalan kaki,” ujarnya mengalirkan rasa iba yang mendalam di dalam diri saya.
“Simpan baik-baik uang yang saya kasih tadi, Daeng,” saran saya.
“Iye, terima kasih banyak,” balasnya, bertepatan dengan istri saya sudah menunggu di sepeda motor. (***)