Oleh : H Hasaruddin, Guru Besar UIN Alauddin Makassar
Alhamdulillah, segala puji syukur saya aturkan kepada Allah SWT yang telah banyak memberi nikmat bagi kami sekeluarga, khususnya diri saya pribadi.
Tidak terasa, hari ini merupakan hati istimewa bagi saya dikarenakan coretan yang dilakukan selama ini sudah memasuki coretan ke seratus. Semoga ini menjadi awal dan motivasi untuk senantiasa melakukan corat-coret.
Kali ini, saya mencoba menulis tentang SMS. Dalam wikipedia bahasa Indonesia, SMS yang berasal dari bahasa Inggris, Short Message Service, atau layanan pesan singkat. Sebuah layanan yang dilaksanakan oleh sebuah ponsel untuk mengirim atau menerima pesan-pesan pendek.
Belakangan, singkatan SMS diplesetkan dengan Senang Melihat orang Susah, Susah Melihat orang Senang. Secara pribadi, saya tidak mengetahui sosok yang membuat plesetan seperti di atas, tetapi setidaknya hal tersebut menjadi alarm bagi setiap muslim untuk menjauhi dan menghindari hal tersebut.
Bukankah sifat suka melihat orang lain susah, atau susah melihat orang lain sukses merupakan penyakit hati? Bukankah selama bulan Ramadan, manusia khususnya kaum Muslimin, diajak dan diproses untuk kembali kepada nilai-nilai kemanusiaan yang suci atau fitrah?
Selama sebulan lamanya, manusia, kaum Muslim khususnya, menjalani sebuah pemusatan latihan dengan menahan dan mengendalikan segala macam godaan syahwat dan duniawi yang merupakan sumber karat dan kotoran nurani. Puasa merupakan upaya kreatif manusia untuk membuang karat noda yang menempel di nuraninya dan menjaganya dari pengotoran kembali.
Beberapa saat lalu, ada suatu berita yang cukup menggugah dan menyayat hati sebagian pembaca berita yang dimuat oleh salah satu media on line, CNN Indonesia. Betapa tidak, salah satu komentar dari pembaca berita tersebut adalah, penerima subsidi jadi mafia. Subhanallah. Subsidi yang diberikan juga tidak sedikit, Rp18 triliun.
Bagi orang kecil seperti saya ini, kalau uang Rp18 triliiun digunakan untuk membeli minyak goreng, kira-kira berapa kepala keluarga yang dapat dibantu untuk tidak mengantri minyak goreng, atau setidaknya membuat harga minyak goreng tidak meroket seperti saat ini.
Semoga para penerima subsidi tidak merasa senang melihat masyarakat mengantre untuk sekadar memperoleh minyak goreng, atau merasa berbahagia ketika melihat masyarakat membeli minyak goreng dengan harga mahal.
Puasa merupakan proses kreatif manusia untuk melakukan imsak. Secara filosofis, sebagaimana ditulis oleh Muhammad Iqbal, imsak dapat dipahami sebagai upaya untuk menahan segala sesuatu yang bukan haknya. Imsak juga berarti menunda dan menahan diri dari segala kesenangan sesaat yang bersifat semu untuk memperoleh kesenangan abadi yang hakiki.
Rasulullah SAW mengingatkan umatnya, bahwasanya puasa bukan hanya sekadar menahan makan, minum, dan segala sesuatu yang mungkin membatalkannya. Inilah inti konsep imsak dalam ibadah puasa yang telah kita laksanakan selama bulan suci Ramadan. Hanya dengan ber-imsak lah manusia akan mendapatkan dan menemukan akan hakikat kemanusiaannya.
Jika konsep imsak ini digunakan untuk melihat kondisi masyarakat Indonesia saat ini, kita optimis bahwasanya krisis multidimensi yang terjadi saat ini dapat teratasi dengan baik.
Atau jangan-jangan, ketika seseorang tidak mampu ber-imsak, adalah mereka yang tidak percaya adanya kehidupan di alam lain setelah kehidupan di dunia ini?
Kalau demikian yang terjadi, maka hal tersebut merupakan sesuatu yang wajar. Bukankah Allah SWT sudah mengingatkan dalam Alquran surat al- Baqoroh yang artinya, “Di antara manusia ada yang meminta dan mengharap kebahagiaan hanya untuk di dunia saja, tetapi di akhirat mereka tidak akan memperoleh kebahagiaan.”
Kita berbahagia ketika melihat saudara kita sukses, merasa bangga ketika mereka mampu menjadi orang kaya, tapi setidaknya, semoga mereka yang kaya dan mendapat fasilitas yang luar biasa juga merasa prihatin dengan kondusi masyarakat di sekitarnya, dan terhindar dari sikap arti SMS yang diplesetkan. Mungkinkah? Allah A’lam.***