Oleh : M. Dahlan Abubakar
HARI INI, engkau -- maaf saya menggunakan kosakata ini –- akan mengakhiri masa jabatan dua periodemu yang sarat dengan prestasi. Jabatan Rektor Universitas Hasanuddin akan beralih kepada Prof. Dr. Jamaluddin Jompa, yang meraih suara terbanyak pada pemilihan silam dari beberapa kandidat yang sampai ke meja pemilihan Majelis Wali Amanat (MWA) Unhas.
Aku hanya sempat sekitar dua tahun mendampingimu sebagai juru bicara universitas yang engkau pimpin. Masih teringat benar, 28 April 2015, aku mengenakan jas lengkap, dilantik bersama beberapa pejabat lainnya di lantai Gedung Rektorat yang megah dan diresmikan Wakil Presiden Soedharmono tahun 1997, di tahun terakhir kepemimpinan Prof. Dr. H. Basri Hasanuddin, MA sebagai Rektor Unhas.
Pada hari terakhir kepemimpinanmu, aku mencoba “merewind” kembali kisah interaksi fungsional kita.
Suatu hari di kampus, saat mendiang Prof. Dr. Ir. Radi A. Gany memimpin Unhas pernah memintaku untuk mencarimu, setelah beliau terlebih dahulu bertanya.
“Lan... kau kenal... ??,” tanya almarhum setelah menyebut namamu, suatu siang saat berdua di ruang kerjanya.
“Kalau perempuan, mungkin tidak ada seorang pun yang cantik di kampus ini yang saya tidak kenal,” balasku dengan sedikit ‘gombal’.
“Kabbulampe....(makian dalam bahasa Makassar),” sergap Pak Radi dan menggambarkan begitulah “kelakuan” beliau jika sedang hanya bedua di ruang kerjanya denganku.
Setelah Pak Radi meninggalkan kantor, aku pun menyusul. Soalnya, aku tidak boleh meninggalkan kantor (terkecuali ada hal yang sangat mendesak di luar dan itu pun harus disampaikan ke Ibu Dana (Mardiana), jika kemudian dicari) selagi rektor masih berkantor.
Aku pun menyusul, meninggalkan ruang sempit di pojok di lantai 4 yang menjadi “markas” tak terbilang tahun lamanya itu. Sekadar menikmati sepoi angin kampus, aku duduk di undakan naik ke lantai I di bagian depan gedung rektorat. Tidak hanya aku yang biasa duduk di sini, banyak juga yang lainnya.
Belum lama merasakan segarnya hembusan angin kampus, seorang perempuan cantik tiba-tiba melintas dengan berjalan kaki seorang diri. Aku pun mengejar.
“Bu..bu, dicari Pak Rektor !!,” kataku yang bagaikan memperoleh “durian runtuh" karena baru saja beberapa puluh menit sebelumnya diminta bertemu dengan sosok ini.
“Ah...bukan Pak Rektor yang cari, tapi Pak....,” balas perempuan cantik tersebut dengan – tentu saja – kelakar sambil menyebut namaku. Aku hanya membalasnya dengan tertawa.
Aku tidak pernah tahu, tujuan Pak Radi memintaku mengontakmu pada hari itu. Pasti ada suatu yang penting.
Sore yang Haru
Pada Juni 2012 aku diberhentikan sebagai Kepala Humas Unhas setelah menjabat sejak 2001. “Pensiun” sebagai Kepala Humas, aku aktif di KKN Unhas sebagai tenaga supervisor/pembimbing. Namun suatu sore masih teringat benar, aku menyambangi ruang kerjamu di Lantai II Rektorat Unhas. Kala itu engkau menjabat Wakil Rektor IV Bidang Perencanaan dan Pengembangan Kampus periode kedua. Agendanya waktu itu, jika tidak salah, membicarakan penerbitan buku yang akan menyertai orasi ilmiah penerimaan jabatan Guru Besar-mu yang sudah diagendakan.
Aku masuk bertepatan dengan engkau menunaikan salat asar di sebuah tempat kecil yang diberi pembatas di ruang kerjamu. Aku duduk menunggu beberapa puluhan menit karena aku yakin, engkau selalu meluangkan waktu berdoa kepada Allah swt. Apalagi saat itu setahun menjelang suksesi pemilihan Rektor Universitas Hasanuddin periode 2014-2018, pengganti Prof. Dr. dr. Idrus A. Paturusi yang akan menuntaskan masa jabatannya setelah memimpin Unhas sejak 2006.
Masih berpakaian mukena, engkau berjalan dan duduk di salah satu sofa ruang kerjamu. Entah bagaimana, tiba-tiba saja butir-butir bening menetes di retinaku. Mungkin saja melihatmu masih dalam mengenakan mukena menerimaku membahas penerbitan buku kecilmu yang kemudian aku beri judul “Menonton Pertarungan Manusia Tikus”, kumpulan dari sejumlah esai yang engkau tulis di Harian Fajar antara 2006-2009 dan 2011.
Aku juga berpikir jauh, betapa engkau selalu bermunajat kepada Allah swt pada saat setiap menghadapi momen-momen penting. Di dalam batinku mengalir, Insha Allah, Yang Maha Kuasa akan mengijabah doa hamba-Nya yang tiada henti dari waktu ke waktu.
Aku sempat diam-diam memotretmu selagi mengenakan mukena itu dan engkau mengutak-atik gawai. Maaf, begitulah dasar wartawan selalu mencuri momen tanpa sepengetahuan objeknya. Aku menghajatkannya menjadi ilustrasi sebuah tulisan yang kubuat kelak. Dan inilah saatnya itu.
Buku kecil itu kemudian aku edit tanpa menulis nama editornya. Aku sengaja membuat anonim penyuntingnya karena pada saat itu situasi “politik” di kampus agak “suam” menjelang pemilihan rektor. Aku -- meskipun tidak punya hak suara – tidak ingin dianggap mendukung siapa-siapa dalam suksesi nanti, meskipun batin ini tidak bisa menyangkal pasti ada pilihan. Akibatnya, ketika aku “menyelinap” ke ruanganmu selalu diusahakan tidak dilihat oleh pihak lain yang kelak menjadi kompetitormu dalam pemilihan rektor kelak.
Pada tanggal 26 Januari 2014, sekitar pukul 12.54 Wita, aku mencatat betul, merupakan hari bersejarah bagimu setelah terpilih sebagai Rektor Unhas menggantikan Idrus A. Paturusi. Engkau mengimbangi jumlah suara dua pesaingmu. Kemenangan ini membuktikan ramalanku ketika menerimaku selagi mengenakan mukena di ruang kerjamu suatu sore. Allah Maha Pengasih dan Maha Memberi terhadap hamba-Nya sebagaimana selalu diungkapkan dalam firman-Nya, "Berdoalah dan aku akan mengabulkannya”.
Tidak berapa lama, engkau yang mengenakan baju putih dengan rok atau celana warna merah menerima uluran tangan dua pesaingmu disertai rektor yang akan engkau gantikan posisinya. Inilah demokrasi kampus yang santun dan beretika. Selesai berkompetisi datang memberi apresiasi.
Pada kesempatan inilah, aku bertemu kembali dengan Bapak Masri Pulubuhu, ayahmu. Ketika awal bertemu dengan beliau setelah puluhan tahun tak jumpa, aku katakan kepada ayahmu bahwa aku pernah malam-malam ke rumah di bilangan Cipinang Jakarta ketika meliput PON. Kala itu aku bersama bersama Pak Abdul Kadir Buloto.
Bapak ingat betul itu. Apalagi, aku katakan sering menghadiri rapat di Jl. Ratulangi, rumah jabatan Kakanwil Bank Rakyat Indonesia (BRI) saat Bapak menjabat. Setelah diingatkan dengan peristiwa-perisiwa itu, Bapak kemudian tertawa sambil mengiyakannya. Yang jadi pertanyaan waktu itu, aku tidak pernah melihatmu. Mungkin lagi kuliah di Surabaya.
Ketika engkau maju sebagai calon rektor, mungkin ada yang berpandangan sedikit primordialistik. Pasalnya, Kota Makassar baru saja melaksanakan suksesi dan pemenangnya adalah Mohammad Ramdhan Pomanto, pria berdarah Gorontalo, tetapi lahir di Makassar. Aku khawatir jangan sampai isu ini yang dikembangkan dalam pemilihan nakhoda kampus. Aku selalu berprinsip, siapa pun yang memimpin yang penting dia memiliki kompetensi dan kemampuan.
Aku yakin engkau sudah “magang" delapan tahun menjadi wakil rektor yang merencanakan dan mengembangkan kampus. Apa kurangnya. Tokh yang akan dilaksanakan seorang nakhoda kampus adalah juga yang sebagian besar dipikirkan dan dilakukan oleh wakil rektor yang ini.
Masih banyak yang ingin kucurahkan di sini, tetapi aku pilih yang terakhir saja. Sekali waktu setelah menyelesaikan pendidikan doktor (2018) aku bertandang ke ruang kerjamu. Aku sudah lupa agendanya waktu itu. Yang kuingat engkau bertanya “Apa Pak Dahlan tidak mengajar di kampus ?."
“Saat ini saya hanya mengajar di UMI, karena fakultas tampaknya tidak memerlukan dosen seperti saya,” jawabku.
“Wah, tidak boleh. Masa seorang doktor tidak ditarik mengajar di kampus. Nanti buat permohonannya, saya terbitkan surat keputusan (SK),” titahmu yang membuatku benar-benar merasa berutang budi dan terharu mendengarnya.
“Siap, Ibu Rektor,” kataku pendek dengan suara yang sedikit bergetar karena merasa terharu dengan perhatianmu yang luar biasa.
Di fakultas aku memang mengampu dua mata kuliah spesialisasi yang belum cukup kompeten diisi oleh dosen lain. Pasalnya, aku memiliki jam terbang praktik maupun dari segi keterampilan pada dua subjek tersebut.
Sejak tahun 2018 aku memang jarang muncul di kampus, tetapi alat komunikasi selalu membuat jarak menjadi tidak berlaku lagi. Kini, engkau akan mengakhiri masa jabatanmu yang diisi dengan prestasi yang sangat fenomenal. Terakhir, di ujung hari kepemimpinanmu, engkau meresmikan Hotel dan Convention Center Universitas Hasanuddin. Dengan adanya hotel itu, Unhas bisa menghemat Rp 7 miliar setiap tahun yang selalu digunakan oleh universitas dan fakultas membahas berbagai program di hotel di luar kampus.
“Sebagai universitas yang berstatus Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN BH) Unhas harus memiliki unit-unit bisnis,” engkau berdalih dan aku dan siapa pun sepakat tentang itu.
Sembilan hari setelah hari ulang tahunmu, engkau akan kembali menjadi seorang Guru Besar (Ilmu Sosiologi dengan spesialiasi masalah konflik). Bertemu dengan para mahasiswa yang tentu saja sudah lama merindukanmu. Engkau kembali aktif – selain menjadi Komisaris Independen PT Vale – tentu saja akan menjadi pembicara di berbagai forum. Dan, semua orang tidak akan pernah lupa bahwa Universitas Hasanuddin pernah memiliki seorang rektor yang menyelesaikan masa baktinya dengan “happy ending” yang bernama Dwia Aries Tina Pulubuhu.
Sekian, salam sehat selalu. Aamiin. (***)