Oleh : H Hasaruddin, Guru Besar UIN Alauddin Makassar
Salah seorang ulama yang mengaku memiliki pemahaman keagamaan mumpuni mendatangi daerah tempat Abu Nawas tinggal. Masyarakat terpukau dengan ucapan dan penyampaian sang alim tersebut dari atas mimbar. Bagaimana tidak, setiap ucapannya disertai dalil naqly yang mampu menghipnotis setiap orang yang mendengarnya.
Sekalipun sang alim mampu menghipnotis para pendengarnya, tidak demikian halnya dengan Abu Nawas. Abu Nawas justeru merasakan sesuatu yang ganjil pada diri sang alim.
Pada suatu pengajian, sang alim mempersilakan kepada jamaah mengajukan pertanyaan terkait isi ceramah yang telah disampaikan, atau hal lain yang berhubungan dengan masalah keagamaan. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Abu Nawas. Dalam hati Abu Nawas berkata, “Tiba saatnya untuk menguji keilmuan sang alim.”
Abu Nawas mengangkat tangan dan mengajukan pertanyaan, “Mohon maaf sebelumnya, menurut anda sesungguhnya semut yang ada dalam Alquran surat al-Naml, apakah yang dimaksud semut betina atau jantan?”
Mendengar pertanyaan Abu Nawas, sang alim terdiam dan tidak mampu berkata-kata.
Selanjutnya Abu Nawas berkata, “Anda pernah membahas surat al-Muthafifin, tolong jelaskan makna sijjin dan illiyin.”
Sekali lagi sang alim tidak dapat menjawab pertanyaan Abu Nawas. Jamaah yang hadir di tempat tersebut merasa kagum terhadap Abu Nawas, karena mampu mengajukan pertanyaan yang tidak dapat dijawab oleh sang alim.