Dalam kesempatan tersebut, Naoemi juga meminta Ketua PKK Kabupaten Kota, Kecamatan, Desa dan Kelurahan, untuk ikut memonitoring program ini.
Ia pun berharap, ada contact center yang bisa dihubungi masyarakat ketika menemukan kasus stunting.
Sementara, Pelaksana Tugas Kepala Dinas Kesehatan Sulsel, dr Bachtiar Baso, mengatakan, stunting merupakan persoalan serius.
Di Sulsel, hasil studi SSGI tahun 2021, prevalensi balita stunting 24,4 persen, sedangkan menurut
aplikasi elektronik-Pencatatan dan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat (e-PPGBM) 9,08 persen. Angka ini menurun dari tahun 2019, yang mencapai 30,6 persen.
“Stunting harus jadi perhatian khusus karena dapat menghambat intelegensia anak, kecerdasan, dan produktifitas mereka. Stunting ini disebabkan rendahnya asupan gizi, belum optimalnya layanan kesehatan untuk ibu, hingga kurangnya akses air bersih dan sanitasi,” terangnya.
Pemprov Sulsel, lanjutnya, mencanangkan program penurunan stunting, melalui Aksi Setop Stunting. Pada tahun 2021 lalu, dilakukan di 155 desa di Kabupaten Enrekang dan Bone, sedangkan tahun ini jangkauannya lebih luas di 240 desa di 24 kabupaten kota.
“Lokusnya adalah 10 desa tertinggi stunting di masing-masing kabupaten kota. Kita lakukan penempatan tenaga gizi pendamping dan konselor gizi. Mereka fokus pada penurunan stunting di desa melalui transfer knowledge ke seluruh stakeholder yang ada di desa,” jelasnya. (*)