Oleh : H Hasaruddin, Guru Besar UIN Alauddin Makassar
Kaum idealisme-spiritualisme meyakini, di balik setiap transformasi sosial terdapat nilai-nilai ideal yang mendorong dan mengarahkan jalannya sejarah, meskipun jalan yang ditempuh kadangkala bersifat spiral dan dialektis, bukannya linier dan mulus.
Bagi kaum sufi, transformasi sosial tidak hanya dilihat secara pragmatis, melainkan juga secara etis dan ontologis. Nilai apakah yang hendak dihadirkan setiap perubahan sosial? Apakah dampak etis setiap pembangunan? Untuk apakah semua itu dilakukan? Pertanyaan-pertanyaan itu perlu dihayati, bukan sekadar ungkapan retorik.
Dengan kata lain, entah itu modernisasi, transformasi sosial, perubahan social. Keberhasilan dan kegagalan akan diukur dari apakah semua usaha tersebut mengantarkan nilai- nilai ketuhanan dalam perilaku manusia atau tidak.
Di sini, kebertuhanan dan keberperikemanusiaan merupakan poros sekaligus tolok ukur untuk mengevaluasi sejarah. Meminjam teori cermin al-Ghazali, aktivitas kemanusiaan yang tidak diterangi cahaya keilahian bagaikan orang berjalan di lorong gelap. Sebaliknya, orang yang sekadar percaya kepada Tuhan tanpa menumbuhkan sifat-sifat agung Tuhan di dalam dirinya bagaikan iblis.
Secara retorik, ungkapan di atas sesungguhnya sudah tersurat dalam sila pertama Pancasila. Dua sila pertama itulah inti Pancasila yang diharapkan menumbuhkan etos manusia Indonesia.
Yakni manusia Indonesia akan bisa dipahami secara benar kemanusiaanya hanya ketika ia dikaitkan dengan Tuhan Sang Pencipta dan Pembimbingnya. Sebaliknya, jika ketuhanan tidak memiliki dampak praksis dan fungsional, kalau tidak termanifestasikan dalam realitas dan perilaku kemanusiaan.