Oleh : H Hasaruddin, Guru Besar UIN Alauddin Makassar
Ali ibn Abi Thalib memiliki seorang saudara bernama Uqail. Suatu hari, saat Ali menjabat sebagai khalifah, Uqail datang mengunjungi Ali dan dihidangkan di hadapan Uqail makanan berupa roti dan garam.
Melihat hidangan yang disajikan kepadanya, Uqail berkata, “Apa ini?”
Ali pun menjawab, “Bukankah ini termasuk nikmat Allah SWT dan bagi Allah SWT jua segala puji.”
Kemudian Uqail memohon, agar Ali sudi meminjamkan uang sebanyak seratus dirham kepadanya. Saat itu, Ali mengatakan, dirinya belum memiliki uang sebanyak itu dan meminta Uqail bersabar hingga dirinya mendapatkan uang sebanyak itu.
Mendengar ucapan Ali, Uqail berkata, “Saudaraku, bukankah engkau seorang khalifah? Bukankah kunci bait al mal ada padamu?”
Mendengar ucapan Uqail, Ali berkata, “Saudaraku, di hadapan mu ada beberapa peti berisikan harta dagangan, ambillah salah satunya, lalu bongkar dan silakan ambil seluruh isinya?”
Uqail terkejut, bagaimana mungkin ia membongkar peti yang berisikan harta milik masyarakat dan mengambilnya dengan begitu saja. Lalu berkata, “Apakah engkau menyuruh saya membuka peti dari orang-orang yang bertawakkal kepada Allah SWT?”
Ali menimpali, “Lalu kenapa engkau meminta, agar aku membuka baitul mal dari kaum muslimin, lalu aku berikan kepadamu harta benda milik mereka, padahal mereka bertawakkal kepada Allah SWT.”
Ali mekanjutkan kata-katanya, “Kalau kamu mau, maka ambillah pedangmu, dan aku pun akan mengambil pedangku, lalu kita ke rumah masyarakat. Di antara mereka ada pedagang kaya raya, masuklah ke rumah salah seorang pedagang tersebut lalu kita curi hartanya.”
Dengan terheran-heran Uqail berkata, “Apakah aku harus menjadi seorang pencuri, sehingga perbuatan seperti itu harus aku lakukan?”
Ali menjawab, “Mencuri harta seorang Muslim, lebih baik daripada kita mencuri harta kaum Muslimin yang ada di Baitul Mal.” Allah A'lam. ***
Makassar, 29 Juni 2022