Oleh : H Hasaruddin, Guru Besar UIN Alauddin Makassar
Nabi Musa AS melarikan diri dari Mesir, ketika ia mengalami kesulitan pasca kasus perkelahiannya dengan penduduk setempat. Pelarian Musa AS melalui Gurun Sinai, terus ke timur sampai tiba ke daerah Madyan, sebuah daerah di tepi pantai Teluk Aqabah. Di daerah tersebut tinggal seorang bijak, Nabi Syuaib AS yang diutus oleh Allah SWT untuk masyarakat Madyan (QS 11: 84).
Musa yang saat itu belum diutus sebagai Nabi, menyampaikan masalah yang dihadapinya kepada Nabi Syuaib AS. Dari ceritera yang disampaikan oleh Musa, Nabi Syuaib AS melihat, kalau Musa tidak bersalah dan bersedia melindungi Musa dari penduduk Mesir.
Nabi Syuaib AS kemudian menikahkan kedua puterinya dengan Musa, dengan mahar Musa harus tinggal selama delapan tahun bersama keluarga Nabi Syuaib AS, untuk bekerja membantu ekonomi keluarga tersebut. (QS al-Qashash: 27).
Nabi Syuaib AS mengajarkan Musa AS tentang ketauhidan dan ilmu hikmah. Dia banyak menekankan akan paham tauhid dan menekankan agar Musa tidak menyembah selain Allah SWT.
Setelah Musa menunaikan maharnya, ia bersama kedua isterinya bergegas melakukan perjalanan untuk kembali ke Mesir. Dalam perjalanan pulang itulah, Allah SWT mengutus Musa sebagai Rasul untuk menemui Firaun, penguasa Mesir saat itu yang senantiasa bertindak sebagai diktator (QS Thaha : 13- 24).
Firaun merupakan gelar bagi penguasa Mesir, yang dihadapi Musa AS, saat itu adalah Ramses II (1304-1237 SM). Selain menggambarkan Firaun sebagai seorang diktator, Alquran juga menyebut bahwa Firaun mengaku dirinya sebagai Tuhan dan gemar menindas rakyatnya. Karena itu Firaun adalah salah seorang yang musyrik, karena mengganggap dirinya sebagai Tuhan (QS 28: 38).
Dari kasus Firaun, dapat ditarik pelajaran bahwa yang disebut syirik bukan hanya sikap seseorang yang mengagungkan sesuatu dari kalangan sesama makhluk ciptaan Allah SWT, tetapi syirik juga meliputi sikap menagungkan diri sendiri kemudian menindas harkat dan martabat sesama manusia, seperti sikap para diktator dan tiran. Keduanya adalah sikap melawan Allah SWT.
Tindakan yang dilakukan Firaun bukan merupakan bentuk kegagahan atau keperkasaan, melainkan bentuk kehilangan yang lebih mendasar, karena ia diperhamba oleh hawa nafsunya sendiri untuk berkuasa dan menguasai orang lain.
Inilah kondisi Firaun yang kemudian mengalami hukum Allah SWT yang sangat tragis dan dramatis, Firaun baru sadar setelah malapetaka menimpa dirinya, namun hal tersebut sudah terlambat (QS 10: 90). Allah A'lam ***
Makassar, 03 Juli 2022