PEDOMANRAKYAT, MAKASSAR - Di tengah kebersamaan merayakan Idul Adha 1443 H ini, kita sejenak perlu mengenang keteladanan Nabiullah Ibrahim A.S dan Siti Hajar A.S yang melahirkan seorang generasi teladan bernama Ismail. Keberhasilan mereka berdua mendidik putranya adalah sebuah hasil dari pola pendidikan yang telah terbukti melahirkan seorang generasi berpredikat nabi.
“Kesalehan dan ketaatan Ismail diabadikan Allah SWT di dalam Alquran dan sejarah hidupnya menjadi tapak tilas pelaksanaan ibadah haji sampai hari ini,” ujar Dr. Muhammad Shuhufi, M.Ag, ketika bertindak sebagai Khatib Salat Idul Adha di Masjid Amirul Mukminin Kompleks Universitas Hasanuddin Biringromang, Kecamatan Manggala, Makassar, Ahad (10/07/2022).
Dalam khutbahnya bertajuk “Refleksi Atas Salawat Ibrahimiah”, dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK) UIN Alauddin Makassar itu mengatakan, penyembelihan hewan kurban menjadi bagian syariat Islam merupakan bentuk penjelmaan dari ketakwaan Ismail kepada Tuhannya. Ismail A.S ikhlas menerima tawaran ayahnya untuk disembelih sebagai pembuktian cintanya kepada Allah SWT. Dia telah mampu mengalahkan keinginan nafsu dan tuntutan dunianya karena sadar cinta dan ridanya kepada Allah melebihi segalanya.
Muhammad Shuhufi yang menyelesaikan pendidikan Doktor di UIN Alauddin Makassar selama 3 tahun 9 bulan 28 hari itu mengemukakan, Nabi Ibrahim diberi gelar “abul anbiya” (Bapaknya para nabi) karena dari keturunannya telah lahir banyak Rasul Allah SWT. Keturunan Nabi Ibrahim dan Siti Sarah adalah Nabi Ishak yang kemudian menurunkan bangsa yang kita kenal dengan nama Bani Israil.
“Ishak memiliki putra bernama Ya’kub, yang sering dipanggil Israil,” sebut doktor ke-100 UIN Alauddin Makassar tersebut.
Pria kelahiran Pangkajene 18 November 1974 ini mengatakan, Ya’kub putra Ishak dalam sejarah yang diceritakan Alquran memiliki 12 anak, salah satu di antaranya Yusuf. Yusuf adalah ‘nabiyullah’ yang membawa hijrah 11 saudaranya ke Mesir dan menetap di sana. Mereka ini kemudian berkembang menjadi 12 suku Bani Israil. Namun keberadaan Bani Israil di Mesir ini mendapat ancaman dari Raja Mesir, Fir’aun yang melakukan berbagai tekanan, intimidasi luar biasa hingga perbudakan pada Bani Israil.
“Di tengah-tengah Bani Israil inilah lahir seorang pemimpin yaitu, Nabi Musa A.S dibantu Harun – yang juga Nabi – membebaskan Bani Israil keluar dari Mesir menuju daerah di sekitar Palestina. Selama menetap di daerah ini, lahirlah nabi-nabi dari Bani Israil seperti Nabi Daud A.S, Nabi Sulaiman A.S, Nabi Zakaria A.S, Nabi Yahya A.S dan banyak nabi lainnya. Yang terakhir diutus Allah menjadi nabi dari bangsa Israil ini adalah Nabi Isa A.S,” ujar doktor UIN Alauddin yang lulus dengan indeks prestasi kumulatif (IPK) 93.70 tersebut.
Kepala Pusat Pengabdian pada Masyarakat UIN Alauddin ini mengungkapkan, keturunan Ibrahim dengan Siti Hajar melalui garis Ismail atau Bani Israil (bangsa Arab) tidak banyak diceritakan dalam Alquran yang menjelaskan nabi-nabi yang diutus. Tetapi yang jelas, setelah berakhirnya kenabian Isa (dari garis keturunan Ishak), Allah mengutus seorang Nabi Agung yang menjadi penutup dari seluruh nabi. Dialah Nabi Muhammad SAW, yang diutus tidak hanya untuk Bani Israil (khusus untuk bangsanya), tetapi juga untuk seluruh umat manusia.
Lulusan Doktor UIN Alauddin tanggal 28 Juli 2021 ini mengatakan, itulah sebabnya yang menjadikan kita umat Islam mengenal salah satu bentuk salawat, yaitu Salawat Ibrahimiah yang selalu dibacakan pada setiap tasyahhud/tahiyyat terakhir yang berbunyi: “ Allahumma salli alaa Muhammad wa alaa Muhammad wa alaa Muhammad, kamaa shallaita alaa Ibrahim wa ala aali Ibrahim, innaka hamidum majid. Allahumma barik alaa Muhammad wa alaa aali Muhammad kama barakta alaa Ibrahim wa alaa aali Ibrahim”. (Ya Allah, limpahilah rahmat atas keluarga Nabi Muhammad seperti rahmat yang Engkau berikan kepada Nabi Ibrahim dan keluarganya. Dan limpahilah berkah atas Nabi Muhammad beserta para keluarganya, seperti berkah yang Engkau berikan kepada Nabi Ibrahim dan keluarganya. Engkaulah Tuhan yang sangat terpuji lagi sangat mulia di seluruh alam).
Menurut Muhammad Shuhufi, Salawat Ibrahimiah ini menunjukkan betapa mulianya keluarga Nabi Ibrahim A.S, hingga ketika bersalawat untuk Nabi Muhammad SAW, kita pun diperintahkan menyandarkannya kepada Nabi Ibrahim beserta keluarganya,
Visi Pendidikan Ibrahim
Muhammad Shuhufi memaparkan, realitas anak keturunan Nabi Ibrahim ini menjadikan kita berupaya menggali jawaban pertanyaan yang muncul tentang bagaimana pola Ibrahim mencetak kader berpredikat nabi tersebut. Alquran memberi gambaran dengan tahapan yang sistematis dan detail yang dapat dipahami dengan penjelasan berikut ini.
Pertama, visi pendidikan Ibrahim adalah mencetak generasi saleh yang menyembah hanya kepada Allah SWT. Dalam penantian panjang beliau berdoa agar diberi generasi saleh yang dapat melanjutkan perjuangan agama tauhid. Visi Ibrahim ini diabadikan Allah SWT dalam Alquran “Rabban hablii minas shalihin” (Ya, Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku seorang anak yang termasuk orang-orang yang saleh).(Q.S.Ash=Shaaffaat:100).
Ibrahim sangat konsisten dengan visi ini. Doa ini pun senantiasa dimohonkan pada setiap saat dan setiap kesempatan dan tidak pernah terpengaruh predikat dan titel-titel selain kesalehan.
“Dalam mentransfer nilai kepada anaknya, Ibrahim selalu bertanya “maa ta’buduuna min ba'dii” bukan “maa ta’kuluuna min ba’dii”. (Nak, apa yang kau sembah sepeninggalku ?) bukan pertanyaan (Apa yang kamu makan sepeninggalku ?). Ibrahim tidak terlalu khawatir akan nasib ekonomi anaknya, tetapi Ibrahim sangat khawatir ketika anaknya nanti menyembah tuhan selain Allah SWT,” ujar Muhammad Shuhufi.
Kedua, misi pendidikan Ibrahim adalah mengantar Ismail dan putra-putranya mengikuti ajaran Islam secara totalitas. Ketaatan ini dimaksudkan sebagai proteksi agar tidak terkontaminasi dengan ajaran berhala yang telah mapan di sekitarnya pada zaman itu.
Ketiga, kurikulum pendidikan Ibrahim yang juga sangat lengkap. Muatannya telah menyentuh kebutuhan dasar manusia. Aspek yang dikembangkan meliputi: ‘tilawah’ untuk pencerahan intelektual, ‘tazkiah’ untuk penguatan spiritual, ‘taklim’ untuk pengembangan keilmuan dan ‘hikmah’ sebagai panduan operasional dalam amal-amal kebajikan.
Keempat, lingkungan pendidikan Ibrahim bagi putranya bersih dari virus akidah dan akhlak. Beliau dijauhkan dari berhala dunia, pikiran sesat, budaya jahiliah, dan perilaku sosial yang tercela. Hal ini dipilih agar pikiran dan jiwanya terhindar dari kebiasaan buruk di sekitarnya.
“Selain jauh dari perilaku yang tercela, tempat pendidikan Ismail juga dirancang menjadi satu kesatuan dengan pusat ibadah ‘Baitullah’. Hal ini dipilih agar Ismail tumbuh dalam suasana spiritual beribadah (salat) hanya kepada Allah SWT. Kiat ini sangat strategis karena faktor lingkungan sangat berpengaruh kepada perkembangan kejiwaan anak di sekitarnya,” kata dosen FDK UIN Alauddin Makassar itu di hadapan jamaah yang memadati ruang dalam dan bagian luar masjid yang dibangun sekitar tahun 1984 tersebut.
Muhammad Shuhufi mengatakan, tidak ada kata terlambat, sekarang harus bangkit menyelamatkan anak-anak keturunan kita. Hal paling prioritas dari nilai-nilai pendidikan Ibrahim yang harus menjadi pola hari ini adalah ‘bi’ah’ (penciptaan lingkungan yang mendidik). Lingkungan pendidikan harus bebas dari virus akidah dan akhlak. Perlu suaka generasi (kawasan steril) bagi perkembangan dan pertumbuhan setiap anak.
“Para orang tua dan pengelola pendidikan hari ini harus mencontoh keberanian Ibrahim dan Siti Hajar dalam mengamankan Ismail dari lingkungan buruk. Harus ada benteng yang kuat untuk mengamankan anak kita dari pengaruh narkoba, judi, seks bebas, dan kekerasan. Melepas anak berada dalam lingkungan yang buruk seperti ini, berarti kita telah menghancurkan masa depan mereka,” ujarnya,.
Kata Muhammad Shuhufi lagi, ada kesalahan dalam menilai keberhasilan anak-anak kita. Terkadang kita sangat bangga ketika anak meraih juara olimpiade sains atau menjadi siswa teladan dalam prestasi akademik. Namun kita jarang mengbubungkan prestasi mereka dengan akhlak dan kepribadiannya.
“Maka, menjadi lumrah kita dapatkan anak-anak cerdas secara intelektual dan ‘skill’ tinggi, tetapi ibadah, akhlak, dan kepribadiannya sangat memprihatinkan,” kunci Dr. Muhammad Shuhufi, M.Ag dalam kutbahnya yang sekitar 25 menit tersebut. (MDA)