Oleh : H Hasaruddin, Guru Besar UIN Alauddin Makassar
Seorang kiai pemimpin sebuah pesantren kecil di Kebondalem, bernama Kiai Anwar, dikenal sabar dan wara'. Wajahnya selalu bersih karena keikhlasannya. Sang Kyai tidak pernah mengeluh walaupun kesehariannya dipenuhi kesibukan mengurus para santri dan masyarakat sekitar pesantren.
Sang Kyai tidak pernah menolak undangan dari masyarakat, kecuali ada halangan yang tidak mungkin ditinggalkannya. Kepada orang kaya ia baik, kepada orang miskin ia lebih baik lagi.
Jika ada di antara jamaah yang meninggal dunia, ia paling dahulu datang dan paling akhir pulang. Suara sang Kyai menggeletar ketika membaca talkin di tepi makam, membuat para pengantar jenazah di kuburan bersumpah akan bertobat sekembalinya dari pekuburan.
Sang Kyai hampir selalu pulang larut malam. Sebab ia mengajar dari pagi hingga larut. Sang Kyai senantiasa mendatangi pengajian di mana pun ia dibutuhkan. Ia tidak berpegang pada aturan, gayung harus mendatangi tempayang. Jika perlu tempayang yang menggelinding mendatangi gayung-gayung yang kehausan.
Suatu hari, jam dua Subuh, sang Kyai baru tiba di rumah, sebab ada seorang ayah santrinya sedang sakratul maut yang terpaksa ditungguinya hingga nyawanya terlepas sambil bibirnya mengucapkan kalimat tauhid berkat bimbingannya. Isterinya telah tertidur menunggu kedatangannya yang begitu larut.
Sebelum tidur, sang Kyai berwudhu terlebih dahulu, jam dinding menunjukkan pukul 02.30 subuh. Saat itu, sang Kyai tidak dapat menikmati mimpinya terlalu lama. Pukul 03.00 subuh, kutu busuk di kasurnya sedang kelaparan dan menggigit pahanya. Sang Kyai terbangun.
Umumnya orang lain akan marah kepada binatang kecil yang jahat tersebut, yang sering juga dinamakan kepinding. Dan biasanya nasib kepinding sudah dapat diramal kalau tertangkap oleh manusia. Dipencet remuk hingga keluar darah hitamnya, disertai kutuk dan serapah karena berani mengusik istirahat manusia yang sedang lelah dan diserang kantuk.
Namun, sang Kyai tidak marah. Saat mahluk kecil yang terkenal dengan bangsat tersebut tertangkap oleh tangan kanannya, sama sekali tidak disakitinya. Dipindahkannya bangsat tersebut ke tempat lain, supaya tidak mengganggunya lagi.
Lalu, sambil menggaruk-garuk pahanya yang gatal, sang Kyai berkata, “Alhamdulillah...........untung ada bangsat. Andaikata tidak ada mahluk kecil ini, pasti aku tidak merasakan nikmatnya menggaruk-garuk paha yang gatal.”
Subhanallah. Kisah seperti ini, sering kali dikisahkan dan dialami oleh guru-guru mengaji saya pada masa usia sekolah dasar. Betapa ikhlas dan tulusnya mereka dalam mengajar, memberi keteladan kepada murid-murid mereka.
Untuk orang tua dan seluruh guru ku, Al- Fatihah. Allah A'lam. ***
Makassar, 23 Juli 2022.