Oleh : H Hasaruddin, Guru Besar UIN Alauddin Makassar
Khalil Gibran, salah seorang penyair mumpuni, tulisannya dikenal luas karena cita rasa orientalnya yang eksotik, bahkan mistis. Dianggap sebagai penyair Arab perantauan terbesar.
Di antara ungkapan yang pernah di tulis adalah, “Kehidupan telah membawaku dalam sayapnya dan menerbangkanku ke Puncak Gunung Masa Muda. Kemudian ia memberikan isyarat dan menunjuk ke belakangnya. Aku menoleh ke belakang dan melihat sebuah kota aneh, darimana mawar yang gelap menghalau banyak warna-warni yang bergerak pelan bagaikan hantu. Sebuah awan tipis hampir menyembunyikan itu dari pandanganku.”
Setelah sesaat kebisuan, aku berseru, “Apakah yang kulihat ini, kehidupan?” Dan kehidupan menjawab, “Ini adalah Kota Masa Lalu. Lihatlah dan renungkanlah.” Dan Aku menatap pemandangan yang menakjubkan ini dan aku melihat banyak obyek dan pemandangan, aula yang dibangun untuk aksi, yang berdiri bagai raksasa mengcekeran sayap-sayap tidur, kuil- kuil yang membicarakan terus menerus tentang roh-roh yang melayang-layang saat tangisan sekali dalam keputusasaan, dan yang menyanyikan tentang harapan.
Aku mengintai menara-menara pemikiran, menaikkan mereka ke puncak- puncak menara itu seperti tangan-tangan pengemis yang terangkat; aku melihat jalan raya Keinginan yang membentang seperti sungai-sungai melalui lembah- lembah; gudang- gudang rahasia yang dijaga oleh para pengawal persembunyian dan dirampok oleh pencuri penyingkapan; menara-menara kekuatan yang dibangun oleh keberanian dan dihancurkan oleh ketakutan; tempat-tempat suci mimpi, yang dihiasi oleh tidur dan dihancurkan oleh keterjagaan; gubuk-gubuk pelalaian yang dihuni oleh kelemahan; masjid-masjid kesepian dan penolakan diri; lembaga-lembaga pendidikan yang disinari oleh intelegensia dan digelapkan oleh kebodohan; kedai-kedai minuman cinta, di mana para pecinta menjadi mabuk dan kekosongan mengolok-olok mereka; teater-teater di atas papan kehidupan yang memerankannya, dan kematian yang mengelilingi tragedi kehidupan.
Demikianlah kota masa lalu -- dalam penampilannya jauh, walaupun sebenarnya dekat -- terlihat, walaupun sedikit, melalui awan gelap.
Kemudian kehidupan memberikan isyarat kepadaku dan mengatakan, “Ikutilah aku. Kita telah bermalas-malas terlalu lama di sini,” dan Aku menyahut, “Ke mana kita akan pergi, kehidupan?
Kehidupan berkata, “Kita akan pergi ke masa depan.” Dan aku berkata, “Kasihanilah aku, kehidupan, aku letih, dan kakiku terluka serta kekuatanku sudah habis.”
Tetapi kehidupan menyahut, “Berjalanlah terus, temanku. Bermalas-malas adalah sikap pengecut. Tetap selamanya menatap kota masa lalu adalah kebodohan. Teruslah bergerak menatap hari esok yang lebih baik.” Allah A'lam. ***
Makassar, 13 Agustus 2022