Oleh : M. Dahlan Abubakar
Pengantar :
PELAUT termasuk sosok pekerja profesional yang jarang tersentuh oleh pemberitaan media. Hal ini disebabkan lokasi pekerjaan mereka yang selalu ‘bergerak’ dan berada di luar jangkauan operasional rutin para pekerja media. Kalau pun kemudian terberitakan, boleh jadi karena ada pekerja media yang sedang menggunakan jasa transportasi, melakukan perjalanan memanfaatkan sarana angkutan tersebut.
Wartawan media ini sempat berbincang-bincang dengan Nakhoda KM Tilongkabila, kapal penumpang PT Pelni yang melayari trayek Benoa (Bali), Lembar (Lombok), Bima (Sumbawa), Labuan Bajo (Flores), Makassar (Sulsel), Baubau, Raha, Kendari (Sultra), Luwuk (Sulteng), Gorontalo, dan Bitung (Sulut) pergi pulang.
Wartawan media ini, M.Dahlan Abubakar selama sekitar 3 jam sempat berbincang-bincang dengan Nakhoda KM Tilongkabila Capt. Indar Bahadi pada trayek pelayaran KM Tilongkabila Makassar-Labuan Bajo (selanjutnya ke Bima), 8 Agustus 2022 malam.
Catatan hasil perbincangan tersebut dimuat bersambung mulai hari ini. (Redaksi).
POSTURNYA tinggi. Kulit putih. Rambut dicukur pendek dengan janggut menggantung beberapa sentimeter. Dia duduk menyandar ke dinding di salon kapal, saat menyapanya dengan ucapan “Selamat siang, Capt”.
Penulis tak segera menangkap gesturnya kalau beliau seorang muslim untuk menyapanya dengan “Assalam alaikum ww.” Membaca baju warna kuning dipadu celana jingkrang warna putih, mudah dipahami jika pria ini seorang yang super religius.
Saking asyiknya berbincang-bincang sudah dua jam – kemudian -, sampai-sampai penulis hampir lupa menanyakan nama nakhoda kelahiran Semarang ini. Dia menyebut namanya, Indar Bahadi, yang sebenarnya bermakna, bapaknya berdoa agar putranya ini selalu terhindar dari bahaya.
“Kalau dikasih nama Hindari Bahaya, jadi lucu nantinya. Jadi, dipilih Indar Bahadi saja,” ungkap lelaki kelahiran Semarang dengan tanggal, bulan, dan tahun cantik, 11 November 1966 ini sembari tertawa.
Menjawab pertanyaan pertama penulis, pria yang sangat ramah dan agamais ini, baru satu setengah tahun menakhodai KM Tilongkabila, kapal yang bergabung dengan armada angkutan penumpang PT Pelni lainnya pada tahun 1995.
Sebelum di KM Tilongkabila, yang mampu mengangkut penumpang 970 orang ini, pernah di KM Caraka, KM Niaga XXXII, KM Wilis, KM Bukit Siguntang, KM Dobonsolo, dan puluhan tahun silam mengabdi pada sejumlah kapal perintis.
Indar Bahadi menghabiskan waktu yang begitu lama, 20 tahun, membawa kapal perintis memasuki wilayah-wilayah terpencil dan terisolasi di Papua, setelah memutuskan berhenti bekerja selama dua tahun di kapal Selandia Baru.
“Pesan kopi, ya ?,” tiba-tiba ayah tiga anak ini memotong perbincangan kami yang kemudian menghabiskan waktu sekitar tiga jam 25 menit lebih. “Boleh, terima kasih, Capt,” balas saya.
“Ok, silakan, Pak,” Capt Indar Bahadi segera menawarkan secangkir kopi hitam yang tidak berapa lama sudah berada di depan kami.
Sambil menyeruput kopi panas untuk menciptakan keakraban penulis menjelaskan pernah berbincang-bincang dengan Pak Zubair, Muallim I KM Tilongkabila dalam pelayaran Makassar-Bima pada tahun 2018.
Capt Indar Bahadi hanya meng-iya-kan terhadap beberapa penggalan informasi dari perbincangan penulis dengan pria yang ternyata istrinya se-kelas dengan putra saya di SMA Negeri 10 Makassar.
Pak Zubair yang ternyata alumnus SMA Negeri 10 Makassar itu, meskipun kini sudah memimpin pelayaran Kapal Tol Laut di wilayah utara, Bitung, Sangir Talaud, Miangas, dllnya, masih tetap berkomunikasi telepon dengan penulis.