“Apa yang terkesan di KM Tilongkabila selama satu setengah tahun ini, Capt ?,” seusai menjelaskan cerita tentang Pak Zubair, penulis bertanya.
“Setiap kita bekerja ini kan mengabdi. Ke mana pun kita mengabdi dan bekerja merupakan perintah Allah SWT. Kita bekerja seperti yang diamanatkan. Catatan kita, tentang kita, diamanatkan untuk agama, untuk bangsa, untuk keluarga. Yang pertama, agama, sesuai perintah Allah SWT. Menjadi seorang pemimpin harus adil, tidak boleh memihak ke sana ke sini. Kita harus berdiri di tengah-tengah,” ujarnya beberapa saat setelah agak hening usai penulis melontarkan pertanyaan.
Komentar awal ini semakin menguatkan pandangan penulis bahwa nakhoda kelahiran Semarang ini menjadikan tuntunan agama sebagai pedoman hidup selama berkariernya.
Ketika penulis menyinggung seperti apa kendala yang dihadapi di dalam pelaksanaan tugasnya, seperti menghadapi berbagai karakter penumpang, Indar Bahadi menjelaskan, karakter penumpang pada trayek yang dijalani KM Tilongkabila terbilang cukup bagus. Wujudnya, sopan santunnya baik.
“Kalau di sini (penumpang KM Tilongkabila) karakternya rata-rata bagus,” ujar pria yang pernah melaksanakan kegiatan dakwah hingga India, Thailand, dan Bangladesh ini sambil menikmati roti yang disepuh kaya yang tersedia di atas meja.
Dia menyebutkan, di Manado, mereka sopan-sopan, berbudaya, beradab. Kalau di Papua sana, tentu agak lain. Berbeda. Ya, memang karakter dan budayanya juga berbeda. Bukan berbeda, melainkan masih boleh disebut perlu “dipoles”.
Indar Bahadi selama 20 tahun membawa kapal perintis memasuki pelosok Papua yang ketika itu belum terjamah sama sekali. Dari nama-nama daerah yang disebutnya, nyaris tidak pernah didengar di publik maupun di media (sosial).
“Jadi, hanya dimasuki (dilayari) oleh kapal perintis, ya ?,” imbuh penulis. “Ya, perintis. Dulunya kan baru ada Tamposmas (II),” ujarnya, kemudian penulis menambahkan bahwa pernah mewawancarai Nakhoda KM Tampomas II Capt. Rivai (alm.) pada saat pelayaran Makasaar-Jakarta, November 1980, dua bulan sebelum kapal tersebut terbakar dan tenggelam di Kepulauan Masalembo, menjelang akhir Januari 1981.
Saat kapal penumpang yang semula bernama “Great Emerald” itu karam, penulis sedang meliput Pekan Olahraga dan Seni (Porseni) Mahasiswa di Manado.
Menurut Indar Bahadi, ketika bertugas di Papua, menghadapi masyarakat yang cara berpikirnya belum maju. Terkadang dulu itu, mereka menyelesaikan sesuatu itu dengan kekerasan. Itu mungkin terbatasnya mereka bergaul dan berinteraksi dengan masyarakat lainnya. Kurang berinteraksi dengan orang luar.
Dulu, sebelum pendatang menyambangi daerah itu, mereka masih ketat dengan budayanya yang mungkin menurut orang lain masih primitif. Makanan juga belum tersedia dan belum mampu mengolah alam dan potensinya. Kepada para pendatang, mereka tidak belajar. Akhirnya, menimbulkan rasa iri, yang sebenarnya bersumber dari kemalasan mereka sendiri. “Padahal, daerah mereka memiliki potensi yang besar,” sambung penulis.
“Ya, itu kan media yang besar-besarkan, dan itu justru menjerumuskan mental mereka. Bagaimana negara mengatasinya, mestinya harus mengambil pengalaman orang-orang yang pernah bertugas di sana. Inspirasinya apa. Pendekatan budaya mereka seperti ini,” sentil Indar Bahadi yang masuk hingga ke wilayah di dekat Papua Nugini (PNG) dan Agats, di bagian selatan di dekat Merauke.
Indar juga mengungkapkan pengalamannya, jika ditahan oleh penduduk asli di sana, kerap memberi mereka minuman dan “diamankan” baru diturunkan di dermaga. Meskipun marah, jika sudah diberi minuman akan gembira.
Selama dua dasawarsa berada di Papua, Indar, bisa melihat bagaimana orang asing memengaruhi penduduk di wilayah tertimur Indonesia tersebut. Di tengah keterbatasan mereka mudah dipengaruhi oleh orang asing. Jika kapal perintis tidak masuk membawa bahan makanan, beras misalnya, mereka hanya makan bungkil.
Indar sendiri pernah menyaksikan dan menanyakan bagaimana misionaris itu membawa perempuan yang sudah siap dikawinkan dengan kepala suku setempat. Mereka dihasut. Misionarisnya perempuan.
Alhamdulillah, ada jamaah-jamaah tablig yang masuk ke Papua menyebarkan agama. Mereka membangun masjid. Bahkan satu kapal dengan misionaris. Mereka sama-sama menyebarkan dakwah dan agama. Sebenarnya itu tidak cantik karena tidak terkontrol oleh pemerintah, Sekarang harus berbenah.
“Dulu pada zaman Pak Harto bagus. Ada Babinsa yang dapat mengawasi arus bawah. Misalnya budaya-budaya asing masuk. Ada budaya asing yang bagus dan tidak. Yang tidak itu, tidak boleh,” sebut Indar.
Indar mengisahkan, pada saat kapal masuk sungai, terkadang terjadi perang suku. “Saya cerita begini karena menjadi pelaku sejarah di sana. Saya melayani di sana. Kalau bercerita sampai ke sekecil-kecilnya, ya bisa,” ujarnya dengan klentong “semarangan”.(Bersambung)