Pernah ketika Indar di Papua, pecah perang antara orang Papua dengan pendatang. Dulu, rambut lurus diusir. Ada wacana, siapa pun rambut lurus disuruh keluar. Di sini wawasan kebangsaan yang kurang. Kontrol pada sekolah juga terjadi. Wilayah Indonesia ini terbuka untuk siapa pun Kita harus hidup dalam wawasan kebangsaan Indonesia.
Dulu, wacana seorang pemimpin harus putra daerah, itu menyesatkan. Yang penting, dia harus mampu memimpin. Indonesia kan dari Sabang sampai Merauke. Semua berhak memiliki negara ini. Orang mau berusaha di mana pun berhak, sepanjang ber-kartu tanda penduduk (KTP) Indonesia.
“Sudah separuh dari umur nih, Capt ?,” sela penulis sembari tertawa.
“Ya, saya sudah mau masuk masa persiapan pennsiun (MPP) nih. Ya, alhamdulillah. Pelni ini telah membawa saya jauh,” balasnya disela oleh ABK yang menawarkan minuman berwarna kuning.
Selain KM Tilongkabila, Capt Indar Bahadi sudah pernah bertugas di beberapa kapal Pelni yang lain.
“Adakah pengalaman, ya misalnya, situasi atau kondisi yang sedikit mengkhawatirkan selama bertugas Capt ?”.
“Ya, di Papua itu kan gangguan keamanan. Ya budaya mereka masih ada yang merusak. Juga melakukan perbuatan yang tidak bertanggung jawab. Kadang-kadang tabung pemadam kebakaran, ada yang merusak sekoci, Jadi dulu, tantangan di sana adalah masalah keamanannya,” kenang Indar dan mengatakan, meski sekarang sudah mulai berubah, tetapi belum seluruhnya.
Ini juga berkaitan dengan masalah peralihan generasi. Juga, berhubungan dengan masalah politik dan penyelewengan politik yang melihat seolah-olah pendatang itu ‘penjajah’. Yang seperti ini, pemerintah harus tanggap. Itukan wewenangnya aparat dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkum HAM) yang barus memberikan edukasi dan pemahaman.
Mereka diberi program, misalnya disekolahkan ke luar agar mereka tahu dan paham tentang perkembangan. Mereka harus berbaur dengan warga yang lain agar dapat belajar tentang keindonesiaan ini. Mereka harus belajar pada pendatang tentang cara berpikir. Hanya kadang-kadang mereka tidak menyadari kalau ada manuver politik. Ada jabatan diperjualbelikan. Bagaikan ada mafia, sehingga mafia itu melawan negara.
“Kalau ada mafia jangan di dalam negara, tetapi dilakukan dengan negara lain. Jangan seperti ini, menjual beli jabatan. Itu merusak sistem negara. Kalau orang pejabat itu harus menjadi pengabdi. Kita harus mengabdi. Namanya penngabdi itu, kita tidak boleh menuntut, termasuk gaji sekalipun. Jadi polisi, jadi TNI, itu semua jadi pengabdi. Mereka sudah sadar sejak masuk ke instansi itu adalah pengabdi. Kalau tidak sanggup menjadi pengabdi, tidak usah menjadi aparat. Cari saja pekerjaan yang lain. Tidak boleh bertransaksi dengan rakyat. Apalagi “berbisnis” dengan rakyat. Tidak boleh,” usul Indar.
Katanya lagi, belum lagi masalah suap yang kerap terjadi. Pun masalah judi yang modus operandinya beragam. Pemerintah harus bersikap dan membersihkan itu.
“Kini muncul polisi tembak polisi,” sela penulis.
“Ya, itu karena hierarki yang salah dan kaku. Kalau itu kaku, sistemnya tidak berlaku. Jika pimpinannya mafia, semua anak buahnya bisa jadi mafia. Lalu rakyatnya bagaimana. Jadi negara bisa kocar-kacir, mau ke mana,” kritik Indar. (Bersambung)