Oleh : H Hasaruddin, Guru Besar UIN Alauddin Makassar
Sebuah arus, dari sumber pegunungan yang jauh, melintasi beragam wilayah pedesaan, akhirnya menyentuh pasir di hamparan padang. Seperti layaknya ketika ia melintasi segala bentuk rintangan, arus itu mencoba untuk melintasi hamparan padang pasir tersebut, tetapi secepat ia melintasinya, air-airnya menghilang.
Ia yakin, meskipun demikian, bahwa sudah menjadi takdirnya untuk melintasi padang pasir, akan tetapi ia tidak menemukan adanya jalan. Tiba-tiba sebuah suara tersembunyi, yang muncul dari padang pasir itu, berbisik, “Angin mampu melintasi padang pasir, pastilah arus juga dapat.”
Arus menyangkal bahwa dirinya telah menggerakkan diri melawan pasir dan hanya membuatnya terserap, karena angin dapat terbang, maka ia dapat menyerberangi padang pasir.
“Dengan caramu bergerak itu, kau tidak akan mampu melintasinya. Kau akan lenyap atau jadi lumpur. Kau harus mengizinkan angin membawamu terbang, menuju tujuanmu.” Tetapi bagaimana ini terjadi? Dengan membiarkan dirimu terserap oleh angina.”
Gagasan ini tidak bisa diterima arus. Lagi pula, ia tidak pernah terserap sebelumnya. Ia tidak ingin kehilangan jati dirinya. Dan, sudah lenyap, siapa menjamin bahwa dirinya dapat kembali?”
“Angin,” kata pasir, “Memang melakukan pekerjaan itu. Ia mengangkat air, membawanya melintasi padang pasir, dan kemudian membiarkannya jatuh lagi. Jatuh sebagai hujan, dan air akan menjadi sungai kembali.”
“Bagaimana aku tahu yang kau ucapkan itu benar?”
“Memang demikian, dan jika kau tidak mempercayainya, dirimu paling-paling akan jadi lumpur, dan itupun memerlukan waktu bertahun- tahun; dan tentu kau tahu lumpur sama sekali tidak sama dengan arus.”