*Catatan M. Dahlan Abubakar*
“Husni Djamaluddin, Berjuang Sampai Energi Terakhir”, judul buku yang ditulis Dr. Rahmat Hasanuddin, SE, M.Si, yang diluncurkan mengenang 18 tahun meninggalnya sosok multitalenta Husni Djamaluddin di Hotel Maleo Makassar, Rabu (19/10/2022). Judul itu sangat tepat ketika kita mengenang perjuangan para tokoh masyarakat Mandar, khususnya Husni Djamaluddin, mewujudkan Sulawesi Barat sebagai satu provinsi yang otonom, memisahkan diri dari Provinsi Sulawesi Selatan.
Drs. H. Adnan Anwar Saleh, SH, Gubernur Sulawesi Barat periode 2006-2011 dan 2011-2016 menukilkan kembali kisah awal perjuangan seorang Husni Djamaluddin menghadirkan Sulawesi Barat menjadi sebuah provinsi. Saat dia masih menjabat Anggota DPR RI Komisi IV Bidang Transportasi (1999-2004) dari Daerah Pemilihan Sulawesi Tenggara, teringat peristiwa Sidang Paripurna DPR RI mengetuk palu lahirnya Sulawesi Barat.
“Saya mengenal Husni Djamaluddin melalui harian ‘Pedoman Rakyat’. Hampir tiap minggu di ruang Budaya media itu saya membaca namanya,” Adnan Anwar Saleh, pria kelahiran Polewali Mandar 20 Agustus 1948 mengawali testimoninya pada peluncuran buku setebal 254 halaman yang dihadiri Pj Gubernur Sulbar Dr. Drs. Akmal Malik, M.Si, Tokoh Sulbar Prof. Dr. Basri Hasanuddin, MA, Gubernur Sulbar periode 2016-2021 Ali Baal Masdar dan wakilnya Ny. Enny Anggareny Anwar, tokoh Sulbar yang juga putri mendiang Husni Djamaluddin, Dr. Dra.Yuyun Yundini Husni, M.Si, Dr.Rahmat Hasanuddin, SE, M.Si, Rektor UNM Prof. Dr. Husain Syam, Rektor Universitas Cokroaminoto Makassar (UCM) Prof. Dr. H. M. Tahir Kasnawi, SU, Prof. Dr. Ahmad M. Sewang, dan sejumlah tokoh Sulbar lainnya.
Anwar Anwar Saleh yang memenangkan pemilihan Gubernur Sulbar 28 Agustus 2004 berpasangan dengan Muhammad Amri Sanusi ini mengatakan, secara fisik dia bertemu dengan mendiang Husni Djamaluddin di Hotel Sedona (Aryaduta). Kesan pertama, orangnya sederhana, tetapi jika berbicara tegas dan jelas. Tidak pernah berbicara bersayap. Spirit pejuang Sulbar mengalir dalam dirinya tanpa meninggalkan yang lain.
“Ini yang patut kita kenang pada masa-masa yang akan datang. Pada akhir-akhir hidupnya, dia memperlihatkan keteguhan dirinya yang luar biasa,” ujar pria yang dilantik oleh Mendagri M. Ma’ruf sebagai Gubernur Sulbar 14 Desember 2004 tersebut.
Ayah dua anak ini mengenang, empat hari menjelang kepergiannya, Husni Djamaluddin meminta Adnan Anwar Saleh yang saat itu didampingi istrinya, memegang tangannya.
“Adinda, perjuangan sudah sampai, tetapi belum selesai. Bagaimana perjuangan untuk membangun Tanah Mandar, saya sudah melihat dalam hidup saya, Adinda akan menjadi Gubernur Sulawesi Barat. Saya hanya ingin meneruskan usaha saya,” ujar Husni Djamaluddin dengan suara sedikit samar-samar sebgaimana ditirukan Adnan Anwar Saleh.
Dia mengakui, Husni Djamaluddin menginspirasi dirinya hingga menjabat Gubernur Sulbar dua periode. Pesan-pesan mutiara, Husni Djamaluddin adalah tokoh dan panutan.
“Modal inilah yang membuat saya selesai mejabat gubernur dengan baik,” ujarnya.
Dia mengatakan, Provinsi Sulbar terbentuk setelah 50 tahun diperjuangkan.
“Tolong diteruskan, dibenahi dan dibangun. Sulbar sebagai provinsi bukan hadiah, melainkan hasil perjuangan yang ‘berdarah-darah’ para tokoh Mandar. Jangan lupa perjuangkan Sulbar dan bangun investasi,” kata Adnan Anwar Saleh mengutip ucapan Husni Djamaluddin yang dinilainya sebagai tokoh yang paripurna.
*Kabur dari rumah sakit*
Deskripsi “Husni Djamaluddin Berjuang Sampai Energi Terakhir” mungkin dapat disimak pada tulisan Rahmat Hasanuddin pada halaman 193-203 buku yang diterbitkan Jariah Publishing Intermedia Gowa ini.
“Hari itu, Husni Djamaluddin terbaring di kamar 313 Paviliun Kartika RSPAD Gatot Subroto Jakarta. Rumah sakit ini, kelima tempat pria kelahiran Polewali Mandar (Polman) 10 November 1934 pernah dirawat sejak 2003. Rumah sakit lainnya, Rumah Sakit Tebet, Rumah Sakit Metropolitan Jakarta di Kuningan, dan dua kali di RSPAD. Namun pada tahun 2001 dia pernah menjadi tamu MMC ketika dia masuk ICU dengan kondisi yang parah.
Ketika dirawat terakhir kali di RSPAD inilah, Husni Djamaluddin mengambil keputusan nekad, berani, dan tidak masuk akal. Dia meninggalkan kamar 313 Paviliun Kartika RSPAD bermodalkan sebuah kursi roda yang didorong seorang pengantar. Mengapa muncul langkah nekad ini ?
Ini berawal dari kabar burung yang beredar, sidang paripurna yang telah lama ditunggu-tunggu bakal datang. Para pejuang memperoleh informasi dari Sekretariat DPR RI, sidang paripurna yang akan membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Provinsi Sulawesi Barat diperkirakan bisa digelar minggu ketiga September 2004. Lantaran informasi waktu yang tepat belum jelas, Rahmat Hasanuddin pun meinta Syahrir Hamdani, dosen Fisip Unhas yang biasa di luar, mengonfirmasi mengenai agenda persidangan yang bersejarah itu.
Sekitar seminggu menjelang 22 September 2004, Rahmat Hasanuddin menerima agenda final persidangan DPR, sebelum lembaga legislatif ini dinyatakan demisioner karena pergantian periode. Ini merupakan agenda sidang terakhir DPR RI periode1999-2004 hasil pemilihan umum yang melibatkan 44 partai politik yang terhimpun dalam sembilan fraksi.
Ibnu Munzir, putra mendiang ulama kelahiran Ranah Minang K.H. Bakri Wahid, BA, termasuk salah seorang anggota DPR RI yang menjadi Ketua Panitia Khusus (Pansus) Pembentukan Provinsi Sulawesi Barat.
Alumnus IKIP Ujungpandang (kini Universitas Negeri Makassar) inilah yang memberi konfirmasi perihal jadwal sidang paripurna DPR RI dengan agenda tunggal Pembentukan RUU Provinsi Sulawesi Barat dilaksanakan pada 22 September 2004.
Berita tersebut tersebar cepat ke seluruh elemen yang terlibat dalam perjuangan pembentukan provinsi baru ini. Sang Panglima Puisi yang sedang terbaring di kamar 313 Paviliun Kartika itu pun menerima kabar yang menggembirakan tersebut. Gara-gara informasi itulah ayah lima anak (dua anak perempuan, Titing Surtini dan Pajriani anak dari istri sebelum Rachmary) dan anak kandung Rachmary sendiri, Yuyun Yundini, Laksmi Oktovi dan Leoni Agusti tersebut mengambil keputusan nekad itu. Semua orang melarangnya meninggalkan rumah sakit, terlebih lagi tim dokter yang merawatnya. Tim dokter tetap bergeming agar pasiennya itu tetap di tempat tidurnya.
Tiga hari menjelang hari bersejarah itu, Rahmat Hasanuddin menemukan jalan ke luar yang tidak akan berdampak apa-apa. Saat itu Rahmat Hasanuddin bersama 15 orang lainnya sudah masuk Jakarta. Ia menelepon Arifuddin Djamaluddin, adik Husni, tetapi tidak tersambung. Rahmat Hasanuddin sudah lupa siapa yang memberi tahu kalau Husni akan menghadiri sidang paripurna bersejarah itu dalam kondisi sakit. Dia akan menggunakan kursi roda. Padahal, dia harus istirahat total.
Malam hari menjelang 22 September 2004 esoknya, di benak Rahmat Hasanuddin berkecamuk dua hal yang tidak pernah hilang. Pertama, detik-detik pengesahan RUU menjadi UU Provinsi Sulawesi Barat, berikut rangkaian agenda sidang, termasuk siapa pembicara fraksi, yang menjadi pimpinan, dan bagaimana sidang diketuk. Sepanjang malam pikiran ini berkecamuk di sela-sela salat, zikir, dan doa. Kedua, -- dan tidak bisa terhindarkan – pikiran yang selalu datang tiba-tiba. Apakah Husni Djamaluddin akan datang menghadiri sidang paripurna ?
“Sampai subuh pikiran ini tidak bisa terlepas dari kepala saya. Sampai kami semua berkumpul di kafetaria hotel untuk sarapan pagi. Diskusi dan tanda tanya mengenai Husni Djamaluddin tetap menjadi topik utama pagi itu sampai masuk panggilan telpon milik seorang teman. Telpon itu menyampaikan, Husni Djamaluddin akan datang menghadiri sidang paripurna,” tulis Rahmat Hasanuddin pada halaman 197 bukunya.
Kabar itu sudah terkonfirmasi. Husni Djamaluddin sudah meneken satu surat pernyataan, semua tindakannya adalah atas kemauan sendiri. Semua risiko yang mungkin terjadi di luar tanggung jawab rumah sakit. Rumah sakit meminta surat pernyataan itu karena Husni Djamaluddin mengatakan, diberi izin atau tidak dia tetap ngotot akan pergi karena itu hak asasinya. Rahmat Hasanuddin sudah menduga, hanya situasi sekarat yang dapat menghalanginya untuk datang, Dia keras hati jika menginginkan sesuatu. Tidak bisa dihalangi oleh siapa pun. Rahmat Hasanuddin sangat paham yang ada dalam pikirannya perihal perjuangan pembentukan Provinsi Sulawesi Barat.
Pagi hari 22 September 2004, 15 orang siap menuju Senayan, meninggalkan hotel yang berseberangan dengan Blok M Jakarta Selatan. Hotel memang sudah menjadi langganan. Fasilitasnya relatif lengkap, tarifnya terjangkau, pun letaknya strategis dan praktis jika hendak ke mana saja.
Empat puluh lima menit sebelum sidang dimulai, rombongan dari kawasan Blok M pun tiba di Gedung DPR. Ada tiga sisi balkon untuk para undangan, termasuk rombongan 15 orang, Dewan Perjuangan Pembentukan Provinsi Sulawesi Barat (DP3SB), Komite Aksi Pembentukan Provinsi (KAPP) Sulbar, Kerukunan Keluarga Mandar (KKM) Jakarta, dan Pokja-Pokja KAPP dan seluruh penggembira.
Seluruh balkon berangsur terisi, kecuali balkon di sebelah kiri yang tampaknya disiapkan untuk DP3SB dan KAPP Sulbar dan KKM Jakarta. Balkon ini berdekatan dengan lift dan dapat melihat semua deretan kedua yang setengahnya terisi. Separuh deretan depan terisi oleh Ibu Rosmini Achmad dan anggota Kelompok Wanita Pejuang.
Tinggal beberapa kursi yang – katanya -- disiapkan untuk Husni Djamaluddin, Ma’mun Hasanuddin, dan Rahmat Hasanuddin. Rahmat Hasanuddin menyilakan saudaranya Ma’mun Hasanuddin mengisi salah satu kursi kosong. Rahmat Hasanuddin sendiri akan menunggu dan menjemput Husni Djamaluddin di pintu lift. (*)