“Musdah berangkat haji dengan menggunakan fasilitas Tamu Menteri yang berangkat dengan rombongan khusus,” jawab Menteri.
Tiga tahun berikutnya, 4 Mei 1999 ia dikukuhkan sebagai Ahli Peneliti Utama Lektur Keagamaan di depan Sidang Majelis Pengukuhan Ahli Peneliti Utama yang di pimpin oleh ketua LIPI, Dr. Soefyan Tsauri, MSc, APU. Dalam upacara pengukuhan itu ia menyampaikan orasi ilmiahnya yang berjudul : Potret Perempuan Dalam Lektur Agama. Jabatan itu setingkat dengan profesor.
Eka Budianta
Sementara itu, Eka Budianta karena dedikasinya di dunia sastra. Ia dianggap oleh para juri sangat paripurna. Dia menguasai teori kesastraan secara mendalam. Selain dikenal sebagai seorang penulis senior yang banyak menghasilkan karya sastra, terutama puisi dan prosa, dia juga berperan serta menumbuhkan penyair serta penulis muda melalui Yayasan Pustaka Sastra yang dia dirikan bersama F. Rahardi.
Aktif menulis cerpen dan puisi sejak di bangku SMA, hingga saat ini, dia telah menulis lebih dari 40 buku, baik kumpulan puisi maupun cerpen. Eka juga mendedikasikan hidupnya untuk dunia kepenulisan.
Bukunya yang berjudul “Cerita di Kebun Kopi” (Balai Pustaka, 1981) dinyatakan oleh pemerintah sebagai bacaan di sekolah, sedangkan buku “Sejuta Milyar Satu” dipilih sebagai bahan literatur tambahan dan mendapat penghargaan khusus dari Dewan Kesenian Jakarta tahun 1985.
Bahkan Prof. Dr. A Teeuw dalam bukunya Modern Indonesian Literature II (The Hague, 1979) pernah meramalkan bahwa nama Eka Budianta akan menjadi penulis besar dalam dekade 1980-an.
Denny JA menjelaskan, para penerima penghargaan tersebut akan mendapatkan hadiah berupa sertifikat dan uang tunai masing-masing senilai Rp 35 juta rupiah. Penyerahan penghargaan akan dilaksanakan dalam acara Satupena Award 2022 yang akan dilaksanakan 12 Januari 2023.
Eka Budianta, (lahir 1 Februari 1956), Nama lengkapnya, Christophorus Apolinaris Eka Budianta atau lebih dikenal dengan sebutan Eka Budianta merupakan anak pertama pasangan Thomas Astrohadi Martoredjo dan Monika Dauni Andajani.
Setelah lulus dari SMA ST Albertus di Malang (1974), Eka Budianta melanjutkan pendidikan ke Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FSUI). Di FSUI ia mulai menulis dan menerbitkan karya-karyanya (1975-1979). Pendidikan terakhirnya lulus program kepemimpinan lingkungan dan pembangunan “Leadership for Environment and Development” (LEAD) dengan studi lapangan di Costa Rica, Okinawa dan Zimbabwe (1995-1997).
Dalam perjalanan kariernya, Eka Budianta pernah menjadi wartawan majalah Tempo (1980-1983), koresponden koran Jepang Yomiuri Shimbun (1984-1986), asisten pada Pusat Informasi Perserikatan Bangsa-bangsa (UNIC) UNIC, BBC London, UNDP, Puspa Swara, dan lain-lain.[2] Ia ikut aktif dalam lembaga swadaya masyarakat (LSM) termasuk Bina Swadaya, Komunitas Sastra Indonesia dan Yayasan Dana Mitra Lingkungan (1994-1998). Eka Budianta juga tercatat pernah mengikuti Iowa Writers Program di Iowa, Amerika Serikat.
Karya-karya Eka Budianta pernah dimuat di majalah Semangat, Yogyakarta, dan di harian Sinar Harapan, Jakarta. Buku puisi pertamanya terbit pada tahun 1976 berjudul Ada. Prof. Dr. A Teeuw dalam bukunya Modern Indonesian Literature II (The Hague, 1979) meramalkan Eka Budianta akan menjadi nama besar dalam dekade 1980an. Bukunya Cerita di Kebun Kopi (Balai Pustaka, 1981) dinyatakan oleh pemerintah sebagai bacaan di sekolah. Sedangkan kumpulannya Sejuta Milyar Satu dipilih sebagai bahan literatur tambahan dan mendapat penghargaan khusus dari Dewan Kesenian Jakarta (1985).
Bersama F. Rahardi mendirikan Yayasan Pustaka Sastra, yang mengkhususkan diri menerbitkan karya sastra. Fajar Sastra merupakan kumpulan dwibahasanya yang dipadukan dengan foto-foto Boedihardjo, diterbitkan Pustaka Sastra awal 1997.
Eka Budianta menikah dengan Melani Budianta yang kini menjabat sebagai guru besar di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Dari pernikahan ini, Eka dan Melani Budianta dikaruniahi empat orang anak (seorang meninggal). (MDA)