Oleh : M.Dahlan Abubakar
(Wartawan Senior)
MENGIRINGI peringatan Hari Pers Nasional (HPN) yang dilaksanakan di Medan Sumatera Utara, Presiden Joko Widodo mengatakan, “Pers Indonesia sedang tidak baik-baik saja”. Apa maksud ucapan Kepala Negara ini mengindikasikan masih banyak hal yang perlu diperbaiki dan dipehatikan Pers Indonesia.
Di bawah pidatonya berjudul “Pers Merdeka, Demokrasi Bermartabat” mudah dipahami dengan mengaitkan narasi Kepala Negara berikutnya yakni perlu pers tetap mengkedepankan idealisme dengan kebebasan yang bertanggung jawab.
Mendengar frasa “kebebasan yang bertanggung jawab” kita akan dikenangkan pada model kebebasan pers pada era Orde Baru yang sangat represif. Pers Indonesia pada masa itu memang diberikan kebebasan tetapi harus bertanggung jawab.
Saya menafsirkan batasan “kebebasan yang bertanggung jawab” pada masa Orde Baru, bagaikan seorang wartawan yang sedang mengetik, tetapi tangannya diikat dengan tali karet dari atas. Simbolisme secara visual dalam bentuk karikatur kebebasan yang dilambangkan dengan mesin ketika dengan tangan yang terikat itu pernah dibuat pada masa Orde Baro. Pemuatan pada media massa simbolisme ini pada masa itu, saya anggap sebagai langkah paling berani di tengah otoriterisasi pemerintah Orde Baru dengan mesin-mesin politiknya.
Albert L. Hester, lahir 31 Mei 1932 dan berpulang 11 April 2019, merupakan seorang profesor jurnalisme di University of Georgia (UGA). Dia juga seorang kolumnis, sejarawan, reporter surat kabar, dan penulis. Dia menulis lebih dari sepuluh buku dan sekitar 200 artikel. Selama kariernya di bidang jurnalisme, Hester menjadi reporter dan editor untuk Dallas Times Herald di Dallas, Texas, selama 13 tahun.
Salah satu bukunya yang menarik dan dia sunting bersama Wai Lan J.To berjudul “Handbook for Third World Journalists” diterbitkan pada tahun 1987. Sepuluh tahun kemudian (1997), Abdullah Alamudi mengalihbahasakan buku itu dengan judul “Pedoman untuk Wartawan:, diterbitkan oleh Yayasan Obor Indonesia.
Pada tulisannya yang berjudul “Peran Wartawan Dunia Ketiga”, Hester menjelaskan, reporter Dunia Ketiga, seperti halnya dengan profesional media di negara maju, tidak boleh lupa bahwa media adalah pendidik dan pembawa informasi kepada masyarakat yang sudah terdidik. Reporter Dunia Ketiga mempunyai peran lain, peran yang tidak terlalu dipikirkan wartawan Barat. Meskipun mereka ada kalanya mempraktikkan juga. Peran Reporter Dunia Ketiga adalah membantu menyampaikan umpan balik kepada pembuat keputusan yang berdampak pada masyarakat atau bangsa.
Dalam dunia jurnalisme, Indonesia dapat dikelompokkan sebagai negara Dunia Ketiga seperti dikemukakan Hester. Peran yang dia kemukakan itu, kemudian sangat mengganggu pikiran saya ketika menyoroti informasi yang terungkap dalam kasus pembunuhan berencana yang didalangi FS.
Satu-dua pertanyaan kunci yang kurang digali jika dilihat dari rumus berita yang dikenal dalam dunia jurnalisme (5W –what, who, where, when, why + H, how) adalah ‘why’, mengapa dan ‘how’ bagaimana.
Rumus berita yang pertama kali ditemukan oleh Joseph Rudyard Kipling (tahun 1880-an), seorang penulis cerita pendek, novelis, dan penyair hingga kini belum pernah berubah dan “diamandemen” untuk menambah atau mengurangi unsurnya.
Dari sinilah lahir rumus penulisan berita 5W+H yang hingga kini tetap bertahan. Kepada para mahasiswa peserta kuliah jurnalistik, saya selalu mengingatkan, rumus ini merupakan akumulasi dari seluruh aspek rasa ingin tahu manusia terdidik dan tidak terdidik.