Merujuk kepada salah satu-dua rumus berita yang tercecer dari seluruh informasi yang mestinya digali, di dalam sidang kasus pembunuhan berencana tersebut baiklah kita mulai dengan “locus delicti” (tempat dilakukannya tindak pidana) Duren III. Ketika awal informasi kasus ini mengemuka, telah terjadi dugaan kasus pelecehan di rumah dinas ini. Kemudian pihak penyidik mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) sebagaimana tertuang dalam UU No.3 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Keputusan Jaksa Agung No.518/A/J.A/11/2001 tanggal 1 November 2001 tentang perubahan Keputusan Jaksa Agung RI No.132/JA/11/1994 tentang Administrasi Perkara Tindak Pidana. Cerita kasus dugaan pelecehan di Duren III pun tamat.
Setelah dikeluarkan SP3, tersangka – yang kemudian menjadi terdakwa, yakni FS dan PC – ternyata memindahkan “locus delicti” dugaan kasus pelecehan atau pemerkosaan ini ke Magelang. Di dalam sidang-sidang, tidak muncul pertanyaan mengapa “locus delicti” tersebut berpindah. Saya mengikuti berita rekonstruksi, memang tidak mungkin terjadi kasus tersebut di Duren III jika dilihat proses kedatangan rombongan PC dari Magelang dengan saat pembunuhan terjadi. Kalau kemudian diakui terjadi di situ, itu merupakan bagian dari skenario kebohongan yang kemudian terungkap.
Tidak munculnya pertanyaan tentang “mengapa” tempat tindak pidana itu berubah, jelas menimbulkan pertanyaan yang masih ditunggu publik. Padahal, dugaan pelecehan itulah yang menjadi ‘trigger’ (pemicu) terjadinya pembunuhan berencana itu. Ini sama sekali tidak terungkap ke publik. Saya kira publik Indonesia memiliki pertanyaan yang sama dengan saya dalam hal ini. Kalau saja pertanyaan ini dikemukakan oleh Hakim dan Jaksa Penuntut Umum(JPU), jelas akan menguak titik terang pemicu kasus ini.
Hakim dan Jaksa Penuntut Umum juga tidak memanfaatkan secara maksimal pertanyaan “how” (bagaimana) kejadian di Magelang kepada terdakwa. Saya yakin dari jawaban perihal “bagaimana” di Magelang itu akan menguak kejadian sebenarnya. Dari keterangan para saksi, sebagai wartawan dapat mengaitkan informasi-informasi tersebut dihubungkan dengan waktu keberadaan mereka dan kegiatan yang dilakukannya. Saya yakin tindakan pelecehan itu tidak pernah terjadi. Belum lagi jika dikaitkan dengan realitas antara korban dengan PC selama hidupnya.
Informasi-informasi ini penting bagi wartawan Dunia Ketiga sebagaimana amanah dari Hester yang kelak dapat digunakan bagi pengambil keputusan dan mencerahkan publik. Sayang sekali, wartawan tidak memperoleh ruang untuk menggali informasi yang masih tersembunyi itu karena ketatnya pengamanan terhadap terdakwa yang menjadi sumber informasi primer. Gerbang informasi pun dikemas tunggal yang membuat bahan-bahan pemberitaan tidak variatif dan terkesan monoton dan “bau rilis”. Beruntung salah satu media televisi nasional mampu mengembangkan informasi dengan melibatkan para ahli dan pakar hukum pidana yang mengomentari tahap demi tahap perkembangan informasi yang lahir dari ruang sidang. Informasi inilah kemudian yang memberi tambahan wawasan dan perspektif lain dari kasus ini.
Langkah TV nasional ini dapat dianggap sebagai representasi publik yang resah dan gelisah dengan informasi yang lahir dari ruang sidang yang cenderung merupakan potret adu trik dan kepiawaian wacana dari para pengacara demi klien mereka.
Pemberitaan dalam bentuk wawancara atau video di berbagai platform berita menjadi makanan empuk dan pilihan media daring untuk dikemas dengan cara berbeda, meskipun cenderung mengelabui melalui judul yang “dipermak” dan memicu rasa ingin tahu pembaca.
Metode Kipling
Melihat kurangnya penggalian informasi dari terdakwa di dalam sidang-sidang kasus ini, saya berpikir, mungkin juga perlu kalangan hakim dan jaksa penuntut umum mempelajari metode Kipling. Metode Kipling adalah rumus 5W+H itu tadi. Para wartawan menggunakan metode ini untuk menggali suatu peristiwa secara mendalam dan komprehensif untuk menemukan kebenaran informatif. Hakim dan jaksa penuntut umum boleh menggunakan metode ini demi menemukan kebenaran faktual dan juridis bagi terbangunnya keadilan yang normatif.
Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh hakim atau jaksa penuntut umum dalam sidang-sidang pengadilan identik dengan apa yang dilakukan oleh para wartawan terhadap para narasumbernya, meskipun nuansanya berbeda. Hakim dan jaksa bertanya kepada seorang terdakwa yang duduk di kursi pesakitan untuk menemukan kebenaran dan bukti materil. Sementara wartawan mencari tahu tentang suatu peristiwa dalam kedudukan yang “setara” dan tidak boleh ada yang merasa saling tertekan atau ditekan.
Praktik metode Kipling ini saya kira juga tidak salah jika diterapkan pada personel kepolisian, terutama kepada mereka yang berada di pos penyidikan. Rumus berita ini dalam penjabarannya yang sangat luas akan saling melengkapi antara satu dengan yang lain dan mampu menghadirkan suatu himpunan informasi yang lengkap bagi produk berita acara pemeriksaan (BAP) yang kelak memudahkan bagi JPU menyusun dakwaannya.
Selamat Hari Pers Nasonal. Wassalam! (*).