Di dalam buku ini ikut ter-TEROPONG, juga Julius Nyerere, Presiden Tanzania tahun 1964-1985. Nama lengkapnya Julius Kambarage Nyerere. Ia merupakan presiden Afrika pertama yang mengundurkan diri secara sukarela. Dia masuk TEROPONG karena pernah diurut oleh Lakondo. Hebatkan ?
Model TEROPONG yang digunakan Maysir di dalam buku ini, dalam karya-karya saya pun diberi petanda beda dengan cetak miring yang diapit oleh kurun dan tanpa gambar.
Saya kira model ini akan memberikan perspektif baru dalam penulisan buku dan juga tambahan wawasan dan pengetahuan bagi pembaca. Juga memudahkan pembaca mengetahui sosok yang terlibat di dalam berita itu.
Penulisan model TEROPONG saat ini tidak terlalu sulit karena informasi yang kita perlukan sudah tersedia di ‘rumahnya Mbah Google’. Saya saat ini sedang merampungkan sebuah buku yang berisi catatan-catatan aktivitas jurnalistik saya yang diberi judul AKROBATIK JURNALISTIK MDA. Saat ini sudah terangkum 110 judul.
Model TEROPONG yang hanya dalam bentuk cetakan miring (coersif) yang selalu saya gunakan sebelumnya, kini disertai foto. Tetapi tetap tidak diberi judul tersendiri agar tuturannya ‘nyambung’ dan runtut dengan cerita lain. Jadi, hanya menambahkan kata pengalih alinea atau paragraf saja. Ya sama dengan di dalam buku ini. Karena saya merasa bahwa foto itu mewakili 1.000 kata. Sangat perlu.
Ketiga, di dalam buku ini kita dapat melihat tulisan-tulisan M. Basir pada masa lalu. Terus terang saya belum pernah membaca tulisan-tulisan tersebut. Saya hanya menjadi salah seorang murid beliau, tetapi tidak pernah membaca tulisan beliau karena justru saya sendiri diminta menulis sesuatu. Saya juga lupa meminta contoh tulisan-tulisan beliau sebagaimana yang dimuat di dalam buku ini.
Saya menyimak sepintas, model naratif tulisan beliau itu ternyata merupakan genre dan aliran yang saya anut kemudian dan sering diingatkannya kepada saya. Beliau tidak pernah mengatakan misalnya bahwa ”kalau saya menulis harus begini”. Sama sekali tidak.
Keempat, pada tahun 1984 saya pernah ditugaskan oleh beliau untuk mengikuti perjalanan Gubernur A. Amiruddin ke Mamuju yang baru saja digasak gempa bumi. Mirisnya, saya diperintah setelah rombongan sudah beberapa jam lalu meninggalkan Kota Ujungpandang menggunakan kendaraan darat. Jalan poros Majene-Mamuju sejauh 144 km itu, oleh pengguna jalan itu disebut “bernapas dalam lumpur”.
“Kau cari kendaraan umum kejar rombongan Gubernur,” titah beliau. Saya tidak menjawab sama sekali, kecuali segera mengambil pakaian di rumah kontrakan, melapor ke istri, lalu menuju Terminal Panaikang.
Singkat cerita, saya baru tiba di Tapalang, beberapa kilometer sebelum masuk Kota Mamuju pagi keesokan harinya, berpapasan dengan rombongan Gubernur Amiruddin yang kembali ke Ujungpandang. Saya tidak kecewa dan memutuskan saya meliput seorang diri bukan dengan rombongan Gubernur.
Hebatnya, Aidir Amin Daud yang ikut bersama rombongan Gubernur belum tiba di Ujungpandang, berita saya justru sudah tiba di kantor pada pukul 18.00 Wita hari itu. Batas boleh mengirim telegram melalui kantor Telkom di Mamuju ketika itu.
Selama seminggu, saya tinggal di Mamuju dan meliput Bupati Mamuju Atiek Sutedja yang menyambangi warganya di tenda-tenda malam hari tanpa ramai-ramai dengan pejabat lainnya .
Ada satu kalimat yang untung tidak saya tanyakan kepada beliau ketika ditugaskan ke Mamuju. “Saya naik apa, Pak !?”.
Kalau saja pertanyaan itu saya lontarkan, boleh jadi beliau akan berkata, “Mau jalan kaki ??? Ha..ha..”. (Bersambung)