Oleh M. Dahlan Abubakar
Is Hakim menilai, sosok Manuhua dan M.Basir adalah “two in one” atau menurut istilah zaman proklamasi “dwi tunggal”. Ke depan, kita harus berkongsi hari ini. Dia menyarankan, bagaimana pada saat ini dua kondisi sosok seperti itu bisa juga menyatu. Satu Ambon dan satu lagi Jeneponto. Di mana yang bisa melekatkan mereka. Edukasinya penting.
Bercerita tentang almarhum, tidak akan pernah habis dan selesai. Yang juga penting, jika ada pejabat, maukah mereka bersahabat dengan para seniman, dan dengan siapa saja. Hakim melihat pergeseran antara kesadaran emosional mereka dibandingkan sekarang kesadaran “tik tok” perlu diubah. Perlu solusi, sebab kalau tidak ada solusi, kasihan. Manuhua akan sendiri di sana, dan M.Basir pun akan sendiri di sana. Pertemuan ini bisa juga menghasilkan spirit seperti itu untuk generasi berikutnya.
Usul yang lebih konkret dari seniman yang satu ini adalah bagaimana Jl. Kelapa yang ada di samping kediaman M. Basir itu diubah menjadi Jl. M. Basir. Di Jeneponto, kampung wartawan yang lahir 12 Februari 1923 dan meninggal dunia 14 Oktober 1985 itu (satu tahun 6 bulan 14 hari setelah Kantor Pedoman Rakyat di Jl. Arief Rate ditempati) sudah diabadikan namanya menjadi nama satu ruas jalan. Di Makassar bisa tonji.
Bercermin pada buku M. Basir ini saya mengakui, salah satu kesulitan kita menulis orang yang telah tiada adalah tidak terungkapnya rekam jejak kronologis aktivitas masa lalunya. Dalam hal ini, suka duka M. Basir selama menjadi wartawan sama sekali tidak terungkap. Hal ini disebabkan M. Basir tidak menuliskan akrobatik jurnalistiknya. Juga, mereka yang dapat berkisah tentang beliau sudah tiada. Beruntung, Maysir menemukan penggalan-penggalan catatan kecil almarhum.
Di dalam buku ‘ABDI PERS, L.E.MANUHUA 70 TAHUN, DARI AMBON KE MAKASSAR UNTUK RI” yang diterbitkan PWI Sulsel pada tahun 1996 bertutur tentang suka dukanya dalam berbagai peliputan yang dilakukannya karena buku itu ditulis ketika Pak Manuhua masih hidup. Selain karena tokoh M. Basir sudah tiada ketika buku ini diterbitkan, beliau pun tidak mewariskan catatan mengenai akrobatiknya di belantara jurnalistik. Kesulitan lain, tokoh wartawan se-angkatan beliau sudah tiada. Hanya mungkin bisa kita lacak pada orang-orang yang hampir seusia M. Basir dan masih hidup sekarang yang barangkali pernah berinteraksi dan mengetahui rekam jejak jurnalistik M.Basir.
Di dalam buku L.E. Manuhua tersebut tertulis bahwa wartawan yang pernah meliput operasi militer di Sulsel antara lain A. Masiara, M. Basir, H. Husain, H.A. Zayani, B.Ph.M. Rompas (Fotografer), Harun Rasyid Djibe, M. Ali Kamah, L.E. Manuhua, dan beberapa lainnya.(hlm 78).
Jika keterlibatan M. Basir dalam operasi militer itu sedikit terungkap, tentu akan menjadi satu hal yang menarik. Tetapi itulah kendalanya, selain tidak ada catatan yang beliau tinggalkan, juga orang yang se-angkatan dengan beliau sudah tiada. Masih mungkin kita temukan orang yang dapat bercerita tentang keterlibatan beliau itu, tetapi harus dilacak secara serius. Juga di dalam buku itu M. Basir sebagai Pimpinan dan Komisaris PT Persul kurang terungkap.
Di sini saya melihat perlunya keterlibatan riset pustaka. Misalnya ada foto meliput Peluncuran Palapa II 9 Maret 1977, sebenarnya bisa diperkaya dengan informasi Palapa II tersebut yang dapat kita temukan di google. Lima W+H Palapa pasti ditemukan di situ. Foto tersebut bisa mengisi halaman depan untuk rubrik TEROPONG dilengkapi gambar yang ada. Dari Makassar, saya ingat, selain M. Basir, juga Azis Husain dari TVRI Ujungpandang. Nama yang terakhir ini saya ketahui karena sebelum terbang ke Negeri Paman Sam, Azis Husain mengikuti kursus Bahasa Inggris di Balai Bahasa Unhas, yang berdekatan dengan Fakultas Sastra Unhas, tempat saya berkuliah.
Kedua, ada kesalahan penulisan tahun kelahiran pada halaman 152 tertulis 12 Februari 1920, seharusnya tahun 1923.
Ketiga, buku ini dicetak di atas kertas yang mengilap, sehingga terasa berat dan agak silau jika dibaca di bawah sinar lampu. Mungkin edisi revisi dapat dicetak dengan menggunakan kertas buku (book paper) khusus yang ringan dan enteng dibawa.
Terlepas dari beberapa hal yang perlu dilengkapi itu, memang terasa sangat langka biografi wartawan jika buku M. Basir ini tidak hadir. Di Makassar, banyak yang menyebut diri wartawan senior, tetapi kisah kesenioran mereka belum dibuktikan menjadi sebuah buku yang dapat mengisahkan suka duka perjalanan jurnalistiknya. Mereka itu telah menjalani aktivitas jurnalistiknya pada masa-masa sulit, tetapi sayang, mereka tidak pernah mengisahkan dan menitipkannya secara tertulis.
Selain Pak Manuhua yang diterbitkan oleh PWI Sulsel itu kemudiam buku M. Basir ini, juga ada autobiografi saya yang terbit pada tahun 2021 dan menunggu hari yang tepat untuk diluncurkan. Menulis biografi mereka itu terasa terasa kian berat karena rata-rata narasumber yang bisa bercerita sudah tiada. Sayang !