Oleh: Aswar Hasan
KRITIKAN bagi seorang pemimpin seharusnya dimaknai sebagai vitamin dan doa dalam melaksanakan amanah kepemimpinan. Tak ada pemimpin tanpa kritik, baik langsung atau tidak, bahkan dengan kritik yang tajam, keras dan kasar, ataupun halus lembut, hingga mengkritik secara tak langsung, dengan mengambil perumpamaan.
Kesemuanya harus diterima dengan lapang dada dan mengantisipasinya secara positif, melalui kebijakan yang solutif. Bukan justru dipendam hingga membara menjadi dendam. Pemimpin pendendam, bukanlah pemimpin sejati tetapi seorang yang telah menjadi musuh bagi yang dipimpinnya, dan tidak pantas dipundaknya disematkan amanat kata pemimpin.
Maka dalam pada itu, ketika Wali Kota Makassar Moh. Ramdhan Pomanto menyatakan siap dikritik, dan berupaya membangun keterbukaan publik (Fajar, 15/03/2023), patut untuk diapresiasi. Bahkan, Wali Kota mengklaim bahwa pembangunan yang ia lakukan adalah untuk menyatukan pandangan yang berbeda agar menemukan solusi bersama.
Artinya, memilih sikap pandangan yang berbeda dengan wali kota adalah hal yang sah-sah saja dan tidak terlarang. Lawan berpendapat, sesungguhnya adalah teman berpikir.
Seorang pemimpin ketika tidak setuju atau tidak menyukai sebuah kritik, akan lebih bijak jika kemudian bersikap sebagaimana sikap Voltaire yang menyatakan : “Saya tidak setuju dengan apa yang anda katakan, tetapi akan saya bela mati-matian hakmu untuk mengucapkan itu”.
Namun, pada umumnya pemimpin saat ini, ketika dikritik, justru marah, malah mendendam. Bahkan, para pengikut setia pemimpin yang dikritik itu, ikut membenci – membully – si pengkritik.