PENCIPTAAN atmosfer akademik yang di Universitas Hasanuddin pernah dicanangkan mendiang Prof. Dr. Ir. Radi A. Gany pada awal tahun 2000, harus ditunjang oleh infrastruktur. Ini menjadi bagian penting yang dapat mendukung atmosfer akademik, di samping moral dan mental mahasiswa itu sendiri.
Jika tercipta atmosfer akademik, mahasiswa akan merasa nyaman belajar. Kampus akan menjadi tempat belajar yang tenang, jika di rumah kerap mendapat gangguan misalnya dari orang lain. “Kalau di Inggris, suasananya nyaman dan enak,” kata iin Fadhilah Utami.
Untuk referensi dan bahan bacaan, tersedia banyak buku yang dapat dipinjam di perpustakaan. Membaca buku-buku itu memerlukan ‘study room” (ruang belajar) yang nyaman.
Namun yang tidak kalah pentingnya adalah moral dan mental mahasiswa. Seperti pada saat ujian, “open book” diluaskan, sehingga para mahasiswa tidak perlu menyontek karena yang dinilai adalah kemampuan individual masing-masing mahasiswa.
Yang paling disenangi dari dosen, sebut Iin Fadhilah Utami, adalah memberikan “feed back” (umpan balik) kepada setiap mahasiswa terhadap hasil pembelajarannya. Dalam pelaksanaan tugas mahassiswa, dosen sangat serius. Apalagi dengan jumlah mahasiswa di kelas Iin Fadhilah Utami berjumlah sekitar 20 orang. Mereka ini kebanyakan dari Inggris dan Iin sendiri yang berasal dari luar (Indonesia).
Umpan balik yang diberikan dosen dapat berupa kelebihan dan kekurangan setiap mahasiswa. Kalau dosen mengatakan bagus, yang itu memang karena bagus. Kalau sebaliknya, tidak bagus, itu apa adanya. Dosen sangat objektif menilai dan memberikan umpan balik demi perbaikan prestasi mahasiswa.
Kalau di Indonesia, di Unhas khususnya, penilaian atau umpan balik dosen terhadap mahasiswa seperti di Inggris hampir tidak pernah terjadi. Mahasiswa di Indonesia sendiri tidak tahu mengapa dia memperoleh nilai A, B, dan atau C. Kalau dapat nilai A di Indonesia, mahasiswa sendiri tidak tahu apa yang bagus telah dia lakukan. Apakah cara berpikir atau struktur menulisnya yang bagus ? Mahasiswa di Indonesia tahu memperoleh nilai A tanpa penjelasan sama sekali.
Di Inggris, sebut Iin, seorang mahasiswa memperoleh nilai bagus, A misalnya, dosen akan memberi tahu karena sang mahasiswa ini dan itu.
“Saya membuat tulisan yang bagus dan sebagainya. Mahasiswa tahu secara individual kelebihan dan kekurangannya. Kalau dia mengetahui kekurangannya, maka dia akan memperbaikinya pada semester berikutnya,” sebut Iin.
Para dosen juga memberikan informasi mengenai batas waktu pengumpulan tugas bagi para mahasiswa. Misalnya bulan depan. Pada minggu pertama tugas diberikan, para mahasiswa membuat draft tugas sebagai bentuk dasar yang dapat diperlihatkan kepada dosen untuk memperoleh masukannya. Inilah cara dosen agar para mahasiswa memperoleh hasil yang maksinal dalam pembuatan tugas.
Beberapa dosen melakukan pembimbingan tugas seperti ini sebagai upaya membantu para mahasiswa dapat memaksimalkan hasil tugasnya. Jadi para dosen itu sangat terbuka terhadap pertanyaan mahasiswa. Bahkan, mahasiswa selalu diminta untuk selalu bertanya. Cara ini bagi para dosen dianggap sebagai bentuk mengasah kemampuan “critical thinking” mahasiswa.
Dengan sistem pembelajaran seperti ini, hampir tidak ada waktu bagi mahasiswa yang terbuang percuma selama di kampus. Di Inggris, sangat tinggi keseimbangan orang bekerja (belajar) dan istirahat. Mereka jika sedang bekerja, ya bekerja. Kalau istirahat, ya istirahat. Berbeda dengan di Indonesia, kalau waktu kerja justru terkadang istirahat.
Banyak juga kegiatan yang dilakukan untuk kegiatan lain, seperti berolahraga, kegiatan seni, dan pesta di akhir pekan. Mahasiswa memang tidak belajar pada hari Minggu, tetapi dia akan belajar pada hari-hari dia harus belajar. Jadi, semuanya berlangsung secara seimbang. Jadi fokus. Di Indonesia, sebut Iin, mahasiswa kurang ketat memenej waktu.
Di Inggris, dalam satu semester para mahasiswa sudah memiliki jadwal dan tahu kapan harus mengumpulkan tugas. Kalau di Indonesia, biasanya tidak berapa lama menjelang akhir kuliah pada semester yang berjalan baru mahasiswa diminta membuat makalah atau tugas.
Di Universitas Bristol, sebelum mulai semester sudah ada jadwal pengumpulan tugas. Jadi seorang mahasiswa akan bisa mengatur waktunya. Misalnya, kalau batas waktu pengumpulan tugas pada bulan ketiga, maka seorang mahasiswa yang hendak ke luar kota pada bulan itu akan mengajukan tugasnya pada bulan pertama.
Jadi sudah ada “planning” (perencanaan) dari awal. Semuanya sudah dipetakan dari awal hingga akhir semester. Mahasiswa bisa mengatur waktunya untuk menulis dan tidak stres. Semua jadwal, termasuk ujian pun sudah jelas. Kapan mengumpul tugas, sudah jelas semua. Mahasiswa mudah memenej waktunya. (Bersambung)