Saya perkenalkan nama kepada mereka dengan singkat hingga mengetahui nenek yang tak bisa berjalan itu bernama Yasminah, dan nenek yang mendampinginya bernama Komiroh.
Akhirnya tibalah kami di Posko di dekat terminal Syieb Amir yang terlihat ramai lancar. Banyak dari mereka menuju Masjidil Haram untuk salat Isya berjamaah. Begitu tertib dan lancar, terlukis di wajah mereka pancaran kebahagiaan.
“Nenek dari mana kok cuma berdua ?,” saya bertanya kepada salah seorang dari mereka sambil menyodorkan dua buah teh botol sosro dan roti.
“Kami dari Kabupaten Padang, Nak. Tadi kami terpisah dengan rombongan saat tawaf. Nenek ini saudariku, dia tidak kuat berjalan jadi nenek yang menuntunnya pelan-pelan saat tawaf dan sai,” jawab nenek Komiroh.
“Nenek tinggal di hotel mana ?,” usut saya lagi. “Aduhh nenek lupa nama hotelnya, Nak. Tadi kami berangkat bersama-sama satu rombongan. Nenek tidak tahu nama hotel nenek,” sahut sang Nenek
“Oh begitu, saya lihat identitas Nenek ya. Nanti saya antar sampai ke hotel,” jawab saya lirih.
Saat itu saya memeriksa isi tas punggung warna biru bertuliskan Bank BRI, sembari mencari kertas identitas dan nomor bus.
“Ini apa Nek. Kok ada kain putih ini kain ihram atau kain kafan Nek ?,” iseng saya bertanya keheranan yang sebelumnya menduga bahwa itu adalah sehelai kain kafan.
“Iya nak, ini kain kafan yang kami bawa dari Padang. Kami sengaja mempersiapkan sejak dari rumah untuk di tanah haram ini, kain kafan ini sebagai bekal kami Nak, biar kalau kami meninggal di tempat ini, petugas tidak perlu susah payah mencarikan kain kafan. Biarlah mereka memakaikan kain kafan yang kami bawa. Kami ikhlas jika ajal menjemput kami di tanah haram ini. Kain kafan ini sebagai pengingat kami bahwa ajal manusia tidak ada yang tahu kapan datangnya. Kami bawa kain kafan ini setiap hari dan di mana pun kami berada. Cita-cita kami meninggal di tanah haram ini, Nak,” jawab Nenek Komiroh menjelaskan dengan bahasa Indonesia berlogat Sumatera. (Bersambung)