Saya harus pamit karena paham betul bahwa kesepakatan janji harus dipatuhi, sekiranya ada perjanjian lain setelah kesepakatan dilakukan, it’s the other story. Inilah kultur Jepang yang harus dipahami. Sebelum pamit pulang, saya menundukkan kepala dan mengucapkan terima kasih telah diberi kesempatan mencium bau, aroma dan rindu yang dalam pada sekolah saya yang sudah tidak ada lagi. Sekolah yang pada jamannya bernama Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP) IKIP
Konon kabarnya Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP) IKIP lahir berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 1971 tentang penunjukan Proyek Perintis Sekolah Pembangunan pada delapan IKIP negeri di seluruh Indonesia. Sekolah ini awalnya dibuat dalam rangka penelitian, pembaharuan, dan pengembangan sistem pendidikan nasional.
Sayangnya, karena sekolah ini uji coba dan merupakan proyek, akhirnya diakhiri pada tahun 1986 dengan kebijaksanaan Mendikbud pada saat itu melalui suatu SK. Pada prakteknya PPSP ini betul-betul berakhir pada tahun 1987 dan dialihkan menjadi sekolah negeri biasa yang di kelola oleh Kanwil Pendidikan dan Kebudayaan setiap daerah.
Selama kurun waktu 16 tahun PPSP telah menyelenggarakan pendidikan yang menyenangkan, merangsang sesuai dengan tuntutan jaman untuk pendidikan watak, pengetahuan, kecerdasan, keterampilan, kemampuan berkomunikasi dan kesadaran ekologi. Sekolah ini juga menciptakan keseimbangan fisik, emosional intelektual, kultural dan spiritual, serta adaptasi dengan masyarakat.
Setelah mengembalikan mobil rental di Itami Osaka Airport dan terbang kembali ke Tokyo, pikiran saya mengawang-awang. PPSP yang dibentuk 42 tahun lalu ternyata di “kloning” oleh Super Science High School nya Jepang sejak kurang lebih 15 tahun lalu. Dalam tataran “kecepatan” sejatinya kita lebih cepat dan unggul dari mereka.
Terlepas dari itu lesson learned yang saya dapat bahwa sebetulnya PPSP sudah on the track. Saya mengingat bahwa pelajaran mandiri tanpa guru telah membawa saya untuk bisa beradaptasi dengan cepat. Ini bukan berarti mengesampingkan peran guru. Para guru di PPSP telah membentuk semua muridnya ke suatu dunia multitalenta. Mereka layaknya seorang “suhu” yang hanya turun gunung apabila ada sesuatu yang tidak bisa diselesaikan.
Para guru di PPSP “bersembunyi di dalam suatu ruangan kecil yang dipenuhi tumpukan modul-modul dan bisa ditemui pada saat kita mengambil Modul lembaran kerja, kunci dan test. Selebihnya para murid diberi kesempatan untuk berperang menentukan kecepatan dan keterampilannya sendiri. Pada titik inilah secara tidak langsung para murid diajarkan tanggung jawab mengerjakan sendiri semua tanpa perlu diawasi oleh para guru.
PPSP dan para gurunya telah “menerbang”kan banyak anak muridnya yang pernah di asuh dan dididik ke berbagai posisi. PPSP boleh berumur pendek tetapi roh nya masih tetap hidup di sanubari para murid yang pernah merasakan dididik di suatu sekolah yang menjunjung tinggi nilai-nilai universal seperti yang di dengungkan oleh slogan UNESCO, learning to know, learning to be, learning to do, and learning to live together yang juga merupakan fondasi pendidikan universal.
Saya sangat yakin sekiranya semua alumni dari PPSP di delapan kota ini memberikan sumbangsih pemikiran terhadap dunia pendidikan saat ini, akan memberi warna tersendiri pada dunia pendidikan di Indonesia. Semoga roh pendidikan yang pernah kita rasakan di PPSP akan terus hadir di dalam benak para alumninya. Perilaku, watak dan kecerdasan spiritual dan emosional para alumninya akan menjadi “petanda” alumni PPSP bahwa PPSP telah berhasil membangun intelegensia plus karakter yang tidak lekang oleh waktu. Jayalah alumni PPSP dan mari kita “terbangkan” anak cucu kita ke peradaban pendidikan yang lebih baik.(*)