Dr. H. Bersihannor, MA sebagai pembedah tunggal buku ini, mengutip dua ayat Alquran dalam dua surah sebagai petanda peradaban dalam dunia Islam. Pertama, Allah menurunkan surah Al Alaq, yakni perintah kepada kita untuk membaca yang menjadi modal dasar seseorang dalam menulis. Tidak mungkin orang pandai menulis kalau dia tidak tahu membaca. Membaca itu merupakan prasyarat utama menuangkan gagasan di dalam tulisan.
“Itulah sebabnya versi yang kedua dalam peradaban itu adalah yang berbunyi ‘nun’, al qalam. Demi ‘nun’, dengan pena yang engkau torehkan seperti itu,” ujar Bersihannor.
Menurut dia, itulah sebabnya peradaban Islam menjadi ‘episentrum’ pada masanya disebabkan oleh dua prinsip menjadi kekuatan besar, yakni membaca dan kedua, menulis. Kita mengenal tokoh-tokoh besar seperti Al Ghazali, yang memiliki buku lebih tebal. Karyanya beratus-ratus karena kemampuan membaca dan menulis itu.
“Nilai-nilai itu diambil oleh Prof. Ahmad Sewang dengan tradiri membaca dan menulisnya yang saya anggap sama kuatnya dengan salat. Saya anggap luar biasa karena menulis itu dalam pikiran saya, beliau menetapkan dengan posisi rukun Islam yang tidak boleh ditinggalkan. Menulis itu tidak boleh ditinggalkan, dalam keadaan apa pun. Salat itu, meskipun kita dalam keadaan hampir sekarat, tetap akan menunaikannya,” ujar Bersihannor kemudian menambahkan, dalam hadis dikatakan,” salat itu tiang agama” kalau dalam konsep tulis menulis ini boleh jadi “menulis adalah tiang kehidupan”.
Barangsiapa yang mengamalkan menulis, akan menghidupkan kehidupan itu. Barangsiapa meninggalkan tradisi menulis ini, dia meruntuhkan kehidupan ini.
Bersihannor menilai, salah satu penyebab keruntuhan peradaban bangsa, juga peradaban Islam, itu karena tidak lagi kuatnya tradisi membaca dan menulis. Itulah sebabnya, kata dia, kadang-kadang bingung, ketika bangun subuh, habis menjadi imam di masjid, membuka-buka media sosial whatsapp, di situ ada tulisan beliau (Ahmad Sewang). Bukan masalah tulisannya yang pertama kali dibaca, melainkan data waktunya yang tekirim. Itu terkadang pukul 03.00, berarti beliau tidak tidur pada malam itu, setelah bangun salat tahajjud. Jadi, kapan menulisnya.
“Jadi saya memberanikan diri menanyakan kepada Bunda Prof. Dr. Hj Syamsudhuha Saleh, M.Ag (istri Prof.Ahmad Sewang), kapan Bapak menulis,” kata Bersihannor.
“Bapak menulis tengah malam sampai subuh,” jawab Prof. Syamsudhuha, seperti diungkapkan Bersihannor. Itulah sebabnya, gagasan beliau mengalir dalam tulisannya. Oleh karena itu, Bersihannor menulis dalam sebuah catatan, Prof. Ahmad Dewan sebagai “real Professor”.
“Kalau begitu ada yang tidak ‘real Professor’,” bunyi salah satu pengirim WA mengomentari statemen Bersihannor tersebut. Namun Bersihannor mengatakan bahwa “Ahmad Sewang adalah ‘real Professor’.
Menurut penilaian Akademisi UIN Alauddin ini, Ahmad Sewang adalah sosok yang sangat ‘concern’ dengan anak-anak muda. Dulu kalau kita mau pergi mengikuti seminar, harus submit dulu artikel atau makalah. Pada masa beliau menjabat Wakil Rektor I, Bersihannor bersama Firdaus Muhammad bertanya mengapa diberangkatkan ke Balikpapan ? Ternyata beliau menjawab, kalian adalah anak-anak muda yang energik.
Acara bedah buku itu juga menampilkan pembicara lain dari undangan, seperti Prof. Dr. Nasir Siola, Prof. Dr. H. Rasyid Masrie, Prof. Dr. Hasyim Aidid, MA,
Yudhistira Sukatanya (Edy Thamrin), M.Dahlan Abubakar, Mahroes Andhies, Muhammad Amir Jaya yang membacakan puisi, ditutup oleh Prof. Dr. Hj. Syamsudhuha, M.Ag dan Ketua Satupena Rusdin Tompo.
Menjelang acara peluncuran dalam bincang-bincang sambil menunggu undangan lainnya hadir, Prof. Dr. Ahmad M. Sewang, M.Ag mengingatkan akan seorang Hassan Al Banna, seorang guru dan imam asal Mesir yang terkenal dengan karyanya, “Catatan Harian Dakwah dan Dai” dan “Kumpulan Surat-Surat”.
Hassan Al Banna yang mati sahid karena dibunuh oleh penguasa yang zalim berpesan, satu peluru bisa menembus satu orang, tetapi kalau kalimat bisa mengenai beribu orang, bahkan jutaan orang.
Kemudian Mahroes Andhis tak mau kalah menimpali dengan mengutip apa yang dikemukakan oleh Moshe Dayan, mendiang mantan Perdana Menteri Israel yang bermata satu dan memerintah antara 20 Januari 1977 – 23 Oktober 1979, menggantikan Menahem Begin.
“Saya lebih takut pada seorang penyair daripada 100 tentara komando,” kata Mahroes mengutip tokoh yang selama perang Arab 1948 menjabat komandan pertahanan di wilayah Yordania tersebut.
Acara peluncuran buku di FDK UIN ini sudah beberapa kali dilaksanakan. Pada awal tahun 2023 diluncurkan buku “Satu Abad PSM Mengukir Sejarah” karya M. Dahlan Abubakar dan A. Widya Syahdzwina yang terbit pada tahun 2000. (MDA)