Oleh: M. Dahlan Abubakar
SELAGI masih mahasiswa, Sulis menyambangi satu rumah pemulung di kawasan Ciputat Jakarta. Astagaa… pada satu keluarga, dia menemukan delapan anak mengalami kelainan pada bagian wajah, khususnya bibir. Semua anak ini menderita sumbing. Dia tidak mengerti bagaimana bisa anak-anak ini ‘kompak’ pada sumbing semua. “Mungkin lantaran kekurangan gizi,” kata Sulit memprediksi.
Melihat realitas dan nasib anak yang membuatnya miris itu, Sulis berjanji di dalam hati. Bahkan dia sempat memarahi bapak anak-anak tersebut melihat kondisi anggota keluarganya. Mereka tinggal berhimpitan di lapak yang sempit. Mereka mau ngapaian saja. Tidak ada hiburan lain.
“Mereka tinggal di RSS. Tahu nggak RSS, Rumah Suka Seng….,” nyeletuk Hamdan Zoelva yang sejak awal hanya mendengar cerita Sulis, akhirnya nimbrung juga. Komentar Hamdan ini tidak urung membuat Sulis tergelak tawa.
“Saya bersumpah, dua orang anak ini harus saya operasi,” hati Sulis mendesis melihat nasib anak-anak yang mengalami kelainan bawaan tersebut, Sulis hanya sempat membantu operasi dua dari delapan anak tersebut. Yang lain tidak sempat karena keburu dibawa pulang orang tuanya ke Jawa Tengah.
Setiap Sulis datang ke lapak anak-anak itu, mereka melihatnya bagaikan Bunda Maria Theresa. Perempuan misionaris dari Kalkuta India yang sangat dihormati sebagai Santa Teresa dari Kalkuta oleh Gereja Katolik setelah dikanonisasi. Kanonisasi merupakan sebuah proses yang melibatkan pembuktian bahwa kandidat telah menjalani kehidupan dengan kebajikan heroik, sehingga layak dinyatakan sebagai santo atau santa.
Teresa, biarawati dengan nama lahir Anjeze Gonxhe Bojaxhiu merupakan misionaris India berdarah Albania. Bunda Teresa selama 47 tahun melayani orang miskin, sakit, yatim piatu, dan sekarat. Dia lahir 26 Agustus 1910 dan meninggal pada tanggal 5 September 1997, dalam usia 87 tahun.
Menggunakan mobilnya sendiri, Sulis membawa kedua anak tersebut ke rumah sakit. Kebetulan dia memperoleh bantuan dari Rumah Sakit Omni Medical Centre. Rumah sakit ini pada tanggal 23 Februari 2018 mengantungi status akreditasi tingkat paripurna.
Sulis memilih dua dari delapan bersaudara itu karena sudah bersekolah. Biar mereka tidak malu bergaul, mereka harus menjalani operasi. Bahkan harus diprioritaskan agar tidak malu-malu dengan sesama temannya. Keinginan Sulis membantu mengoperasi kedua anak tersebut bagaikan gayung bersambut dengan kebaikan hari Dokter Indra yang bertugas di RS Omni.
“Saya itu ditraining khusus oleh dokter, bagaimana cara membersihkan hasil operasi, mengganti perban, dan lain-lain,” ujar Sulis dalam perjalanan menuju Pantai Lupus.
Dokter Indra pun mengajari Sulis bagaimana cara memberi obat hingga memanfaatkan alat-alat medis yang diperlukan pasca-operasi. Waktu merawat kedua anak yang selesai dioperasi itu, Sulis merasakan dirinya bagaikan seorang dokter. Semua obat dan alat-alat medis yang digunakan merawat kedua anak itu tidak sepeser pun yang dia bayar. Dokter Indra yang menurut Sulis beraliran metal karena sepatunya penuh dengan paku, memberi tahu apotek dan tempat pengambilan kebutuhan obat agar tidak meminta bayaran.
“Dokter Indra baiknya, ya Allah. Mestinya dokter yang seperti ini (baik hati dan peduli) lebih banyak,” kata ibu dua anak yang berhati mulia ini. (Bersambung)