Pengantar: Pada tanggal 6 Desember 2023, Hasanuddin Law Study Center (HLSC) Unhas menyelenggarakan seminar nasional bertema Meninjau Putusan Mahkamah Konstitusi dalam pelaksanaan Pemilu yang berlandaskan konstitusi sebagai aktualisasi terciptanya negara Demokrasi.
Seminar yang tampaknya sebagai menyambut pelaksanaan pesta demokrasi 14 Februari 2024 ini berlangsung di Ruang Promosi Doktor Fakultas Hukum Unhas itu menampilkan Fajlurrahman Jurdi, S.H.,M.H. (Dosen Hukum Tata Negara Unhas dan penulis buku yang produktif), Endang Sari, S.IP, M.Si. (Komisioner KPU Kota Makassar) , dan Dede Arwinsyah, S.H.,M.H. (Ketua Bawaslu Kota Makassar). Puluhan mahasiswa ikut dalam seminar itu. Wartawan media ini, M.Dahlan Abubakar, termasuk peserta yang ikut nimbrung dalam kegiatan yang dikoordinasikan oleh panitia yang diketuai Muh.Alvind Caesar. Ketua Umum HLSC Muhammad Akbar Fadil yang membuka seminar nasional tersebut menjelaskan, kegiatan ini dilaksanakan menjelang penyelenggaraan musyawarah besar HLSC. Berikut catatannya. (Redaksi).
Mahkamah Konstitusi sebagai penjaga konstitusi baru saja diterba prahara jilid II, setelah terjadi pada tahun 2013, ketika Ketua MK Akil Mochtar terjebak dalam operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Oktober 2013. Lembaga yang menjadi tentara dan penjaga konstitusi itu terseok dalam kepercayaan publik hingga ke titik nadir. November 2023 MK kembali diterjang prahara ketika memutuskan perkara yang sarat kepentingan antara ketuanya dengan keluarga presiden yang sedang berkuasa.
Tampil sebagai pembicara pertama adalah Fajlurrahman Jurdi. Dia menyinggung masalah putusan MK tersebut, namun pada awal presentasinya dia lebih menyoroti soal pemilihan umum (pemilu). Kalau kita bicara soal pemilu, pasti siapa yang berdaulat. Kedaulatan itu adalah titik puncak dari eksistensi pemilu karena yang perlu dirawat adalah kedaulatan. Pertama, merawat siapa yang berdaulat maka harus ada prinsip-prinsip yang ditekankan dalam pemilu itu, yang dikenal dengan pemilu yang demokratis. Kita melihat sistem pemilunya.
Kedua, salah satu karakter sistem pemilu demokratis itu adalah ada soal pengaturan distrik, daerah pemilihan (dapil). Ciri lain pemilu yang demokratis itu adalah administrasi pemilu. Sehingga, sengketa administrasi pemilu itu diselesaikan oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan ini domain penting yang dibicarakan Dede Arwansyah.
Keempat adalah, hak pilih dan pendaftaran pemilih. Itu dijamin oleh konstitusi karena hak pilihnya, maka sekarang misalnya bisa dengan hanya kartu tanda penduduk (KTP) elektronik orang bisa memilih. Sebelum keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) harus terdaftar sebagai pemilih baru bisa memilih, kemudian diubah oleh MK. Yang lain adalah sertifikat kewarganegaraan, dan akses terhadap media.
Kebebasan orang berbicara dalam kaitannya dengan yang positif selama kampanye menjadi penting. Kita sebagai warga negara berhak menilai proses validasi benar-benar netral, benar-benar punya kualitas yang baik. Jangan-jangan orang yang disodorkan adalah orang-orang yang sebenarnya tidak memiliki potensi untuk memimpin republik ini. Sekarang ini sedang viral banyak pernyataan kandidat yang meresahkan publik. Kita tidak tahu sejauh mana keresahan mahasiswa terhadap kandidat itu.
Kata Fajlur, pemungutan suara itu pasti. Kalau pada zaman Orde Baru, tempat pemungutan suara (TPS) itu dijaga tentara dengan senjata dan sepatu laras. Jadi dulu, sudah diketahui siapa pemenangnya sebelum selesai pemilihan. Meskipun sekarang, juga sudah diketahui melalui lembaga survei, kita sudah bisa tahu ini yang menang dan tidak menang. Kita tidak tahu apakah betul survei itu atau tidak.
“Tetapi ini cara atau pola-pola seperti Orde Baru yang saya pikir kelihatan juga karena dulu sebelum pemilu hasilnya sudah diketahui, sekarang sebelum pemilu hasilnya -- mungkin -- probabilitasnya sudah diketahui hasilnya oleh lembaga survei independen atau independen tetapi berbayar,” sebut Fajlur.
Yang lain wewenang MK itu adalah penyelesaian perkara pemilu, yakni ada perkara tahapan dan perkara hasil. Yang diambil oleh MK jika merujuk pada pasal 21c UUD 1945 adalah bahwa MK mengadili perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU). Proses hasil pemilu itulah yang ditangani Bawaslu dan juga oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) dan ditangani oleh lembaga peradilan.
Pemilu yang demokratis itu adalah untuk memastikan apakah negara hukum ini tetap berada dalam koridor yang benar. Jika pemilunya benar, maka kedaulatan rakyat itu terlindungi sehingga dapat dipastikan hukum bekerja dalam koridor yang benar. Itulah konsep dasarnya dalam UUD. Dalam suatu UUD RI negara Indonesia yang berkedaulatan rakyat. Titik temu antara kedaulatan hukum dan kedaulatan rakyat yang terdapat pada alinea keempat UUD 1945. Lalu diterjemahkan dalam pasal 1 ayat 2, kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD. Kedaulatan ada di tangan rakyat itu adalah jenis kedaulatan rakyat, dilaksanakan menurut UUD, berarti bagiannya konstitusi.
Pasal 1 ayat 3 menyebutkan, Indonesia negara hukum bahwa kedaulatan hukum itu setelah kedaulatan rakyat.Titik temu antara demokrasi, adalah rakyat, sementara yang nomokrasi ada di pasal 1 ayat 3, itu berarti posisi hukum yang ‘supreme’.
Dalam penyelenggaraan pemilu ada prinsip selain asas pemilu, ada dua. UU pemilu ada asas pemilu dan ada asas prinsip penyelenggaraan pemilu. Asas pemilu diatur dalam pasal 2, dan prinsip penyelenggaraan pemilu diatur dalam pasal 3. Mandiri, jujur, adil, berkepastian hukum, tertib, dsbnya.
Posisi MK dan KPU dalam Tata Negara Indonesia adalah, MK ada di bab IX pasal 24c UUD. Disebutkan, MK. KPU disebutkan pada pasal 22e. Di pasal 22e, KPU disebutkan dengan huruf /k/p/u/ (kecil). Itu tidak menunjukkan lembaga tetapi pada fungsi. Kalau dia tidak ditulis dengan huruf kapital dalam konstitusi, tidak menunjuk pada lembaga, tetapi pada fungsi. Karena menunjuk pada fungsi, akhirnya KPU yang ditulis dengan huruf kecil itu, menjadi tiga lembaga di UU pemilu. Hasilnya dengan KPU huruf kapital, dan Bawaslu dan DKPP. Tetapi MK ditulis dengan huruf kapital, itu merujuk pada lembaga. Kewenangan MK itu adalah kewenangan atributif, yakni empat kewenangan dan satu kewajiban di pasal 24c.
Empat kewenangan MK, menguji UU terhadap UUD yang disebut dengan ‘judicial review’. Bisa tidak berlaku dalam konteks pemilu? Bisa. Kasus perkara 90/PPU.XI/2023 yang mempersoalkan batas usia, itu adalah ‘Judicial Review’ menurut UU terhadap UUD. Memutus sengketa lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UU. Ada badan-badan atau lembaga negara yang kewenangannya tidak diberikan oleh UU. Tapi ada yang secara leterlek menurut UUD memberikan kewenangan. Misalnya, MA, MK, KY, Presiden, dstnya. Itu ada kewenangan-kewenangan secara tertulis yang diberikan oleh UUD. (Bersambung).