Ada prinsip di pengadilan konstitusi, yakni pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili perkara yang diajukan kepadanya. Pengadilan itu dianggap sebagai bank semua hukum, semacam bank hukum, ada semua di dalamnya. Apa yang didalilkan pada saat mengambil keputusan, itu soal lain. Kedua, persidangan terbuka untuk umum. Ada di RPH yang tertutup, tetapi hasilnya dan putusan dibacakan harus terbuka.
Ada kasus misalnya, kata Fajlur memberi contoh, kasus Prof. Guntur, yang menambah kata “ke depan”, itu mestinya sudah selesai di RPH, tetapi ternyata peraturan internal bisa mengatakan, boleh mengubah frasa atau putusan, ketika pada saat dibacakan berjalan, tetapi dengan catatan harus mendapatkan persetujuan dari anggota majelis hakim yang lain. Ketika sidang etik Prof.Guntur, ada masalah yang tidak terkomunikasikan antara ketika Prof Guntur mengusulkan “ke depan” itu. Ketika mau menyampaikan kepada Panitera, dia minta tolong kepada Panitera untuk menyampaikan kepada majelis hakim yang lain, ternyata tidak terkomunikasikan. Akhirnya kemudian bersoal dan Prof Guntur disidangkan oleh majelis etik Hakim MK.
Ketiga, pengadilan prinsip yang paling penting adalah independen dan imparsial. Pemilu ini adalah keadaan politik. Perang semua melawan semua. Pada saat PHPU banyak kekuatan yang mengintervensi ke peradilan. Jika hakimnya tidak independen dan imparsial, maka PHPU bisa menjadi soal. Ini yang harus dijaga.
Prinsip peradilan konstitusi ini adalah peradilan dilaksanakan secara cepat, sederhana, dan biaya ringan. Bukan biaya ringan, tapi tanpa biaya. Peradilan di MK itu tanpa biaya.
Hak MK yang lain adalah hak untuk didengar secara imbang dari semua pihak. Juga, hakim aktif di dalam sidang dia ikut mendalilkan. Dalam peradilan TUN misalnya, hakim itu bersifat aktif karena itu dia berhak memberikan beban pembuktian kepada para pihak penggugat maupun tergugat.
“Asas praduga keabsahan adalah tindakan penguasa harus sesuai aturan sampai dibatalkan. UU misalnya atau keputusan KPU menetapkan calon terpilih harus dianggap sah hingga ada putusan MK. Keputusan MK itu adalah KaTUN, tentang PHPU, diadili MK, tidak diadili di TUN,” sebut Fajlur. (Bersambung)