Sebelum menutup pengantar dan mengajak untuk berdiskusi, Ajiep Padindang berharap ada masukan dari UU nomor 23 thn 2014 yang di alami Kepala-kepala OPD Takalar. Karena otonomi daerah, yang pasti sudah ada kesepahaman dan kesepakatan antara DPR dan DPD untuk tahun 2024 membuka moratorium otonomi daerah.
Sekretaris Daerah Kabupaten Takalar Muhammad Hasbi menanggapi UU nomor 23 thn 2014 terkait perubahan keempat. Menurutnya, desentralisasi gagal di Kabupaten Takalar.
“Kondisinya, bukan desentralisasi tetapi resentralisasi,” kata Muhammad Hasbi dengan memberi 3 alasan mendasar, terhadap kebijakan pusat yang tidak berpihak dan merugikan daerah. Hasbi memberi contoh pembatasan belanja aparatur. Daerah diminta untuk membatasi belanja aparatur pegawai, maksimal 30 % dari APBD, sementara belanja di Kabupaten Takalar mencapai 50%.
Di sisi lain, Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara terkait pengangkatan P3K. Semua tenaga honor ditingkatkan statusnya menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian kerja (P3K) ternyata setelah pengangkatan tidak ada penambahan DAU.
“Akhirnya kami tidak percaya kebijakan pemerintah pusat,” tegasnya seraya menambahkan Pemerintah Kabupaten Takalar tidak mau lagi menerima P3K dengan beberapa alasan, salah satunya soal penggajian menyamai ASN dan ini akan menjadi beban daerah.
Muhammad Hasbi yang lulus STPDN Angkatan ke 12 ini menambahkan, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 212 Tahun 2022 tentang Indikator Tingkat Kinerja Daerah dan Ketentuan Umum Bagian dana Alokasi Umum penggunaannya tahun Anggaran 2023 yang ditentukan, sementara DAU diatur pemerintah pusat, resentralisasi menjadi hak daerah itu di hapus semua.
Mendengar masukan dan statemen “Desentralisasi Gagal” dari point-point yang telah dipaparkan tadi, Anggota Komite I Dr. H. Ajiep Padindang, SE.,MM menjadikan catatan dari hasil kunjungan kerja kali ini di Kabupaten Takalar. (rk)