Sedikit terlambat, mungkin karena media sibuk dengan berita pemilihan presiden (pilpres) dan pemilihan legislatif (pileg) yang tinggal dua hari, berita kepergian mantan pemain legendaris PSM 1870-1980-an, Baco Ahmad terlambat viral.
Saya sendiri baru membaca berita duka ini, Senin (12/2/22024) melalui Harian Tribun Timur di tengah ucapan selamat hari ulang tahun (HUT) XX yang mengisi banyak halaman.
Padahal, Baco Ahmad berpulang Sabtu (10/2/2024) petang di kediamannya di Kelurahan Gusung, Kecamatan Ujung Tanah, Kota Makassar. Almahum meninggal dunia dalam usia 75 tahun.
Saya hanya sempat menyaksikan Baco Ahmad bermain pada posisi gelandang bertahan bersama beberapa pemain lainnya, seperti Abdi Tunggal, Rony Pattinasarani, Thalib Adam, Gaffar Hamzah, Saleh Ramadaud, dan Saleh Bahang pada paruh 1970-an.
Baco Ahmad bergabung dengan PSM pada tahun 1969 hingga 1980. Pada tahun 1970-an dia termasuk salah seorang pemain yang tercatat sebagai tim junior PSSI. Dia bersama Abdi Tunggal, Anwar Ramang, Rony Pattinasarani, Thalib Adam, Gaffar Hamzah, Saleh Ramadaud, dan Saleh Bahang.
Seperti juga pemain se-angkatannya, Baco Achmad sempat dilatih oleh Ramang pada tahun 1970-an bersama Thalib Adam, dan teman-teman yang kemudian bersama-sama di tim junior PSSI. Saat itulah tim junior nasional didominasi oleh pemain PSM.
Sebagai anak gawang, Baco Achmad kerap menyaksikan pertandingan yang dilakoni Ramang di Stadion Mattoanging.
“Keistimewaan Ramang tidak bisa ditiru. Susah ditiru. Tehnik bermain bolanya muncul begitu saja,” kata Baco Achmad saat saya temui di sela-sela Kejuaraan Liga Karebosi II yang dibuka Ketua Umum PSM Ilham Arief Sirajuddin, 16 Mei 2011 petang di lapangan Karebosi Makassar.
Pria berusia 62 tahun (2011) itu ketika itu saya temui untuk meminta komentarnya mengenai sosok pesepak bola legendaris Indonesia, Ramang. Ia menilai, Ramang pemain serba bisa. Dari arah mana pun bola dia bisa melepaskan tendangan dan tembakan keras. Larinya sangat cepat. Dia susah dikejar. Apalagi dia mampu menendang dengan segala posisi.
Hasil ini dia capai dari hasil latihannya sendiri tanpa pelatih. Dia sendiri yang mengatur ritme latihannya. Urusan latihan dan menendang bola tidak ada yang atur. Ramang berlatih sendiri. Skill ball-nya sangat tinggi. Staminanya sangat prima. Susah ditandingi.
“Makanya jika orang berbicara sepak bola dan PSM, Ramang selalu menjadi contohnya. Belum ada pemain segemilang dia,” kata Baco Ahmad yang ketika itu melatih salah satu klub anggota PSM.
Kakek 30 cucu (2011) menjadi salah seorang pemain PSM saat menjadi kampiun PSSI Perserikatan dua musim berturut-turut,1964-1965 dan 1965-1966.
Ketika Baco Achmad bergabung dengan PSM, Machful Anwar pindah ke Jakarta bersama Andi Lala. Sebagai pemain gelandang bertahan, Baco Ahmad menjadi tembok terakhir menyelamatkan gawang tim “Ayam Jantan dari Timur” itu dari kebobolan.
Seperti juga yang terwariskan oleh junior-juniornya di belakang hari, Baco Ahmad termasuk salah seorang yang sangat disegani lawan. Karakter bermainnya inilah yang kemudian mengilhami Hafid Ali, Musdan Latandang, Bahar Muharram, dan Yosep Wijaya.
Para pemain ini termasuk tipe-tipe yang menyontek gaya bermain Baco Ahmad. Keras, cepat, tetapi tidak kasar. Hanya saja, gambaran penampilannya yang bagaikan “buldozer” kerap membuat lawan berpikir berhadapan dengannya.
Saat meninggalkan PSM, rekam setim-nya Mahful Umar dan Andi Lala bergabung dengan Klub Jayakarta antara lain bersama Iswadi Idris, Sutan Harhara, Ronny Paslah (kiper timnas), dan Judo Hadiyanto, juga kiper terbaik tim nasional.
Baco Achmad sendiri setelah meninggalkan PSM bergabung dengan klub Indonesia Muda Jakarta, kemudian menjadi pemain Persija bersama Wahyu Hidayat, Andjiek Ali Nurdin dengan pelatih Harry Tjong yang juga mantan penjaga gawang PSM.
Setelah berkarier sebagai pemain bola selama sekitar 28 tahun, Baco Ahmad pulang kampung, setelah sempat mengenakan jersey Garuda ketika melawan Denmark 3 September 1974 di Kopenhagen, ibu kota negara itu. Tampil bareng dengan Rony Pattinasarani dan Anjas Asmara, Baco Ahmad dkk tidak berdaya menghadapi tuan rumah. Tim Garuda kalah 9-0.
Kekalahan ini menjadi rekor terburuk dialami tim nasional Indonesia dalam pertandingan resmi atau pun laga uji coba. Ketika tim nasional Indonesia kalah atau Bahrain 0-10 dalam kualifikasi Piala Dunia 2014, rekor terburuk tim Garuda tahun 1974 terhapus oleh kekalahan tahun 2014 tersebut.
Setelah hampir 20 tahun berkarier di luar Sulawesi Selatan, pada tahun 1990-an, mendiang Wali Kota Patompo H M Dg. Patompo mengajak Baco Ahmad pulang kampung. Agaknya, ajakan Patompo itu berkenan di hatinya.
Meskipun Patompo ketika itu aktif sebagai Ketua Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Baco Ahmad juga memperoleh kesempatan berusaha, yakni membuka biro perjalanan haji dan umrah. Awalnya bergabung dan ‘magang’ dengan PT Tiga Utama pimpinan Ande Abdul Latief (almarhum), dia kemudian membentuk biro perjalanan sendiri. Almarhum pun selalu memberangkatkan jamaah melalui biro perjalanannya sendiri.
Di samping aktif sebagai pengelola jasa perjalanan haji dan umrah, Baco Ahmad juga aktif sebagai pengurus cabang olahraga, yakni Federasi Panjat Tebing Indonesia (FPTI) Sulsel. Pada masa itulah, salah seorang anggota keluarganya pernah meraih medali emas. Namun, Jawa Timur meliriknya hingga hengkang ke sana.
Ketika itu dia sangat aktif mengurus cabang olahraga ini. Saat saya menjabat Pengurus KONI Sulsel, almarhum kerap hadir di Jl. Sultan Hasanuddin 42, Kantor KONI Sulsel, bercengkerama dengan teman-teman pengurus lainnya.
Yang tidak saya lupakan, setiap berkunjung selalu membagi-bagikan ikan siap santap kepada beberapa orang pengurus yang hadir waktu itu. Ikan “pallu cella” (masak garam) ini agaknya selalu tersedia di mobilnya setiap dia berkunjung. Habis, almarhum tinggal di daerah ‘sumber ikan’, Paotere.
Kehadirannya membuat suasana di KONI menjadi penuh canda dan ceria. Apalagi, almarhum Baco Ahmad, termasuk ‘gudang cerita’. Biasanya, yang bernada humor. Selamat Jalan sang legendaris.
(M.Dahlan Abubakar, wartawan senior, Penulis Buku “Ramang Macan Bola” (2011) dan “Satu Abad PSM Mengukir Sejarah’ (2020).