Kerap terjadi pula, satu perjalanan lalu membawa saya kepada perjalanan berikutnya. Perkenalan saya dengan Prof. Dr. Mirjam Kunkler pada suatu seminar di Maroko pada 2004 membawa saya diundang menjadi pembicara di Universitas Princeton di New Jersey, AS di 2009. Pertemuan dengan Fatima salah satu peserta diskusi di Berlin, Jerman, membawa saya diundang ke Universitas Dokuz Eylul di Izmir, Turki. Masih banyak lagi cerita seperti ini.
Prinsip untuk selalu bersikap inklusif dan penuh toleransi tidak berarti kita melepaskan prinsip utama dalam beragama. Semua yang kita yakini sebagai prinsip agama harus tetap dijalankan dan diamalkan di mana pun kita berada dan itu tidak bisa dilepaskan untuk kepentingan apa pun. Misalnya, prinsip bahwa salat itu suatu kewajiban yang tidak boleh ditinggalkan, maka di mana pun saya berada dan sesibuk apa pun, saya tetap harus melakukannya sesuai ketentuan.
Setiap menghadiri sebuah kegiatan, sahabat saya pun bertambah. Bagi saya, sahabat itu bisa berasal dari mana saja. Sebab, saya tak pernah memblokade atau membatasi diri untuk berkenalan, berkomunikasi dan bahkan bersahabat dengan orang-orang yang berbeda agama, kepercayaan, ras, suku, bangsa, gender, orientasi seksual dan sebagainya.
Sepanjang berwujud manusia, saya terbuka untuk menerima pertemanan dengan mereka dengan penuh respek. Saya selalu meyakini bahwa menghormati manusia, intinya adalah menghormati Sang Pencipta. Dialah yang menciptakan manusia dengan keberagaman yang tak ada batasnya.
Pengalaman saya selama ini berjumpa dengan berbagai penganut agama dan kepercayaan yang berbeda ternyata mendidik saya menjadi lebih mampu menerima dan mengapresiasi kepada sesama manusia, apa pun agama dan kepercayaan mereka. Bahkan, terhadap mereka yang atheis dan agnostik sekali pun saya tetap memberikan apresiasi.
Pengalaman perjumpaan dengan kelompok-kelompok berbeda justru mendorong saya membaca lebih kritis dan mengkaji ajaran Islam lebih dalam lagi. Penelaahan dan kontemplasi yang terjadi kemudian malah semakin menguatkan keimanan dan mempertebal spiritualitas dalam diri saya untuk menjadi penganut Islam yang lebih cinta damai dan lebih mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan.
Saya begitu yakin, agama diturunkan sepenuhnya untuk kemaslahatan dan kesejahteraan semua manusia. Karenanya, sebaik-baik manusia adalah mereka yang paling bermanfaat terhadap sesama. Pada akhirnya saya menyadari hanya Tuhan Sang Pencipta yang berhak menentukan siapa di antara hamba-Nya yang selamat dan benar. Sebagai manusia kita hanya dituntut untuk mengimplementasikan keyakinan dan keimanan kita dalam perilaku dan karya nyata sehari-hari. Dalam istilah Islam disebut akhlak karimah. Sikap keberagamaan seseorang adalah gambaran akhlak terhadap Tuhan Sang Pencipta, akhlak terhadap sesama manusia, dan akhlak terhadap makhluk lainnya, termasuk terhadap lingkungan.
Indahnya bersikap inklusif, terbuka dan toleran dalam beragama saya rasakan betul manfaatnya, antara lain punya banyak teman dan sahabat di berbagai belahan dunia dan dari berbagai kelompok berbeda. Saya dapat belajar dari mereka yang berbeda dan pembelajaran ini membuat saya tidak mudah menghakimi, tidak mudah menghina, dan tidak mudah memberikan stigma negatif. Saya selalu berusaha untuk melihat kelompok yang lain dengan kacamata positif dan berusaha membangun kondisi yang konstruktif sehingga memberikan banyak manfaat yang produktif dalam hidup saya.
Alhamdulillah.
Akhirnya, saya sadar betul bahwa hidup hakikinya adalah sebuah perjalanan, dan di dalam perjalanan itu, saya kerap menemui kejutan tak terduga. Namun, kemanapun saya pergi, saya selalu percaya, Allah subhanahu wa ta’ala terus menjaga dan memelihara saya dengan limpahan kasih dan sayang-Nya yang tak terhingga. ***
Jakarta, 28 Juni 2023. (Bersambung)