Perjalanan Tri-Lintas (2), Gus Dur: Berita Media Promosi Gratis Buat Kamu

Tanggal:

Follow Pedomanrakyat.co.id untuk mendapatkan informasi terkini.

Klik WhatsApp Channel  |  Google News

Oleh : Musdah Mulia

Dibandingkan kelompok-kelompok prodemokrasi, terlihat mereka lebih siap menggunakan era demokrasi. Ironisnya, mereka justru mengekspresikan pandangan dan gagasan politik mereka yang antidemokrasi melalui berbagai instrumen demokrasi, seperti pemilu, pilkada, parlemen, ormas, dan partai politik. Dulu di masa Orde Baru mereka terpaksa tiarap karena sikap otoriter penguasa Orde Baru yang tak sedikit pun memberi angin kepada mereka. Sekarang, atas nama demokrasi dan HAM, mereka menuntut ruang terbuka untuk menyampaikan ide-ide mereka yang anti-demokrasi dan HAM, kontradiktif dengan Pancasila dan prinsip bhinneka tunggal ika, bahkan konstitusi Republik Indonesia.

Sungguh aneh!

Merekalah yang disebut penumpang gelap demokrasi dan mencederai wajah demokrasi Indonesia. Tidak heran jika upaya-upaya membangun demokrasi yang substantif, seperti gagasan pembaruan hukum Islam menuju bentuk yang lebih akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan, mengalami hambatan yang luar biasa. Kelompok-kelompok inilah yang kerap menyerang habis-habisan dan menuding saya sebagai antek-antek Barat yang ingin menghancurkan Islam.

Tudingan yang menjengkelkan, sekaligus juga menggelikan!

Saya lahir dan tumbuh dari keluarga muslim yang sangat ketat. Bahkan ayah saya, Mustamin Abdul Fattah, adalah salah seorang pimpinan Negara Islam DI TII di Sulawesi Selatan, orang kepercayaan Kahar Muzakar! Jadi, gagasan tentang negara Islam dan formalisasi syariat Islam bagi saya adalah sangat utopis.

Sementara, kakek saya dari pihak ayah adalah seorang mursyid ternama dalam Tarekat Naqsyabandiyah. Sejak kecil, saya menjalani pendidikan pesantren yang hampir sepenuhnya mengkaji ilmu-ilmu keislaman. Bahkan, ketika hendak kuliah di IAIN (kini bernama UIN), kakek saya dari pihak ibu yang juga dikenal sebagai ulama membolehkan hanya jika saya mengambil jurusan Bahasa Arab, karena baginya itu adalah ‘bahasa surga” dan agar saya lebih mendalami studi keislaman. Pendeknya, Islam adalah hidup saya!

Baca juga :  Cegah Korupsi, Bidang Intelijen Kejati Sulsel Memberikan Penerangan Hukum Kepada Perangkat Kecamatan Biringkanaya

Meski banyak yang tidak suka pada upaya-upaya pembaruan dan reformasi pemikiran yang saya kembangkan, namun saya juga merasakan dukungan berlimpah dari berbagai kalangan. Itulah mengapa saya tetap tegar dan bersemangat melanjutkan upaya reformasi ini. Kyai Abdurahman Wahid, Presiden Republik Indonesia ke-4, semasa hidupnya pernah menghibur saya.
“Musdah tenang saja, pemberitaan media seperti itu hanya akan jadi promosi gratis untuk kamu“ ujar beliau.

Ternyata Gus Dur benar. Saya tak pernah menyangka, berbagai hoaks, fitnah dan pemberitaan buruk yang bertubi-tubi itu, justru membawa saya kebanjiran undangan pergi ke berbagai acara menarik di negeri-negeri yang jauh. Itulah blessing in disguise.

Kerap terjadi pula, satu perjalanan lalu membawa saya kepada perjalanan berikutnya. Perkenalan saya dengan Prof. Dr. Mirjam Kunkler pada suatu seminar di Maroko pada 2004 membawa saya diundang menjadi pembicara di Universitas Princeton di New Jersey, AS di 2009. Pertemuan dengan Fatima salah satu peserta diskusi di Berlin, Jerman, membawa saya diundang ke Universitas Dokuz Eylul di Izmir, Turki. Masih banyak lagi cerita seperti ini.

Prinsip untuk selalu bersikap inklusif dan penuh toleransi tidak berarti kita melepaskan prinsip utama dalam beragama. Semua yang kita yakini sebagai prinsip agama harus tetap dijalankan dan diamalkan di mana pun kita berada dan itu tidak bisa dilepaskan untuk kepentingan apa pun. Misalnya, prinsip bahwa salat itu suatu kewajiban yang tidak boleh ditinggalkan, maka di mana pun saya berada dan sesibuk apa pun, saya tetap harus melakukannya sesuai ketentuan.

Setiap menghadiri sebuah kegiatan, sahabat saya pun bertambah. Bagi saya, sahabat itu bisa berasal dari mana saja. Sebab, saya tak pernah memblokade atau membatasi diri untuk berkenalan, berkomunikasi dan bahkan bersahabat dengan orang-orang yang berbeda agama, kepercayaan, ras, suku, bangsa, gender, orientasi seksual dan sebagainya.

Baca juga :  BSI Imbau Nasabah Selalu Waspadai Modus Penipuan

Sepanjang berwujud manusia, saya terbuka untuk menerima pertemanan dengan mereka dengan penuh respek. Saya selalu meyakini bahwa menghormati manusia, intinya adalah menghormati Sang Pencipta. Dialah yang menciptakan manusia dengan keberagaman yang tak ada batasnya.

Pengalaman saya selama ini berjumpa dengan berbagai penganut agama dan kepercayaan yang berbeda ternyata mendidik saya menjadi lebih mampu menerima dan mengapresiasi kepada sesama manusia, apa pun agama dan kepercayaan mereka. Bahkan, terhadap mereka yang atheis dan agnostik sekali pun saya tetap memberikan apresiasi.

Pengalaman perjumpaan dengan kelompok-kelompok berbeda justru mendorong saya membaca lebih kritis dan mengkaji ajaran Islam lebih dalam lagi. Penelaahan dan kontemplasi yang terjadi kemudian malah semakin menguatkan keimanan dan mempertebal spiritualitas dalam diri saya untuk menjadi penganut Islam yang lebih cinta damai dan lebih mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan.

Saya begitu yakin, agama diturunkan sepenuhnya untuk kemaslahatan dan kesejahteraan semua manusia. Karenanya, sebaik-baik manusia adalah mereka yang paling bermanfaat terhadap sesama. Pada akhirnya saya menyadari hanya Tuhan Sang Pencipta yang berhak menentukan siapa di antara hamba-Nya yang selamat dan benar. Sebagai manusia kita hanya dituntut untuk mengimplementasikan keyakinan dan keimanan kita dalam perilaku dan karya nyata sehari-hari. Dalam istilah Islam disebut akhlak karimah. Sikap keberagamaan seseorang adalah gambaran akhlak terhadap Tuhan Sang Pencipta, akhlak terhadap sesama manusia, dan akhlak terhadap makhluk lainnya, termasuk terhadap lingkungan.
Indahnya bersikap inklusif, terbuka dan toleran dalam beragama saya rasakan betul manfaatnya, antara lain punya banyak teman dan sahabat di berbagai belahan dunia dan dari berbagai kelompok berbeda. Saya dapat belajar dari mereka yang berbeda dan pembelajaran ini membuat saya tidak mudah menghakimi, tidak mudah menghina, dan tidak mudah memberikan stigma negatif. Saya selalu berusaha untuk melihat kelompok yang lain dengan kacamata positif dan berusaha membangun kondisi yang konstruktif sehingga memberikan banyak manfaat yang produktif dalam hidup saya.

Baca juga :  PKM Empagae Lakukan Pembinaan dan Pelayanan Kesehatan Terpadu di Pesantren Al-Azhar Talawe

Alhamdulillah.

Akhirnya, saya sadar betul bahwa hidup hakikinya adalah sebuah perjalanan, dan di dalam perjalanan itu, saya kerap menemui kejutan tak terduga. Namun, kemanapun saya pergi, saya selalu percaya, Allah subhanahu wa ta’ala terus menjaga dan memelihara saya dengan limpahan kasih dan sayang-Nya yang tak terhingga. ***
Jakarta, 28 Juni 2023. (Bersambung)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Artikel Terkait

Polda Sulsel Tetapkan 29 Tersangka Kasus Perusakan Kantor DPRD Provinsi dan Kota Makassar

PEDOMANRAKYAT, MAKASSAR – Kepolisian Daerah (Polda) Sulawesi Selatan merilis perkembangan penanganan kasus perusakan dan pembakaran kantor DPRD Provinsi...

Misi Kemanusiaan di Sorowako, KPS dan ELSTAR Dapat Sambutan Hangat Bupati

PEDOMANRAKYAT, SOROWAKO – Kepedulian sosial kembali hadir di tengah masyarakat terdampak bencana. Komunitas Peduli Sosial (KPS) Makassar bersama...

Musprov Taekwondo Sulsel Tertunda, Penjaringan Ketua Umum Ikut Mundur

PEDOMANRAKYAT, MAKASSAR – Musyawarah Provinsi (Musprov) Taekwondo Indonesia Sulawesi Selatan dipastikan tertunda. Ketua Tim Penjaringan dan Penyaringan (TPP) bakal...

Patroli Skala Besar TNI AD Terus Berjalan, Pastikan Kondusifitas Ibu Kota

PEDOMANRAKYAT, JAKARTA – Memasuki hari keempat sejak dimulai Minggu (31/8/2025), TNI Angkatan Darat terus melanjutkan patroli skala besar...