Oleh : Musdah Mulia
Kehadiran saya di Kabul untuk memenuhi undangan panitia pelatihan tentang Hak dan Kesehatan Reproduksi yang diadakan oleh Departemen Kesehatan Masyarakat Afghanistan dengan dukungan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang selanjutnya dikelola oleh UNFPA. Peserta pelatihan adalah para pemimpin agama, termasuk dari para mullah dari kelompok Taliban.
Pelatihan itu dikhususkan bagi kalangan agama agar mereka mengerti tentang pentingnya hak dan kesehatan reproduksi serta interpretasi Islam yang mendukung pemenuhan hak-hak tersebut. Selanjutnya, mereka diharapkan bersedia menjelaskan isu tersebut dalam khotbah mereka di masjid dan berbagai wahana dakwah lainnya. Peran pemuka agama sangat penting dalam upaya transformasi masyarakat menuju kondisi yang sehat dan sejahtera, seperti terminologi Al-Quran baldatun thayyibah wa rabbun ghafur.
Sebelum memberikan pelatihan. saya juga mewakili Indonesia menghadiri Konferensi Regional Keluarga Berencana yang diselenggarakan oleh Kementerian Kesehatan Masyarakat Afghanistan (Ministry of Public Health—MoPH) bekerja sama UNFPA selama tiga hari, yakni 26-29 Februari 2012 dan dihadiri lebih dari 100 peserta. Narasumber kegiatan ini berasal dari negara-negara dengan populasi Muslim yang besar, yaitu Indonesia, Iran, Pakistan, India, Malaysia, Thailand, dan Filipina.
Pertanyaan kritis dalam konferensi tersebut adalah mengapa peserta akseptor KB tidak bertambah? Mengapa akseptor KB umumnya hanya perempuan, padahal kaum lelaki lebih aman menggunakan kontrasepsi? Masalah lain, meski 90 persen perempuan yang sudah menikah mengetahui metode kontrasepsi, hanya 22 persen yang betul-betul menggunakan metode KB. Seharusnya masyarakat sadar bahwa program KB amat penting dan dapat menyelamatkan nyawa manusia.
Program KB dapat mengurangi angka kematian ibu dan bayi baru lahir serta meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan perempuan, anak-anak mereka, dan segenap anggota keluarga. KB adalah praktik terbaik untuk mengurangi kematian ibu. Dengan memastikan akses ke kontrasepsi modern, kita dapat mengurangi angka kematian ibu hingga 40 persen. Konferensi ini mengkaji status terkini KB dan ketidaksetaraan dalam akses terhadap KB, menangani masalah yang berkaitan dengan kualitas perawatan dan penguatan sistem kesehatan, tantangan sosial budaya dan agama, pendekatan berbasis hak, kesetaraan dan pemberdayaan perempuan, keterlibatan laki-laki, keamanan komoditas kesehatan reproduksi, kolaborasi dan kemitraan, serta mobilisasi sumber daya untuk KB.
Data yang andal, mekanisme koordinasi, dan peluang pelatihan diidentifikasi sebagai kebutuhan mendasar untuk mengurangi kesenjangan antara kesadaran dan penggunaan metode kontrasepsi yang sebenarnya. Selama diskusi, tampak bahwa agama dan interpretasi teks-teks agama tentang jarak kelahiran, hubungan keluarga, dan kesetaraan gender memiliki pengaruh kuat atas keberhasilan KB.
Kemudian tiba hari saat saya bertugas memberikan pelatihan.
Pada hari pertama pelatihan, sebagian peserta laki-laki yang berjanggut sangat tebal memandangi saya tidak ramah. Bagi mereka, perempuan tidak pantas berbicara di depan laki-laki, apalagi memberikan ceramah dan menggurui. Begitu mereka tahu saya berasal dari Indonesia, salah seorang peserta berkata, “Muslim Indonesia semuanya kafir karena mempraktikkan KB (Keluarga Berencana). Muslim Indonesia kafir karena laki-lakinya tidak pakai gamis, melainkan pakai baju kafir, baju Amerika. Muslim Indonesia kafir karena laki-laki tidak pelihara janggut, padahal itu sunnah Nabi yang paling utama. Jadi, kalian kafir.”
Saya tertawa dan mengira dia sedang bergurau. Tetapi, dia memandangi saya dengan tajam sebagai tanda bahwa dia tidak main-main dengan ucapannya itu. Ketika jeda acara, panjang lebar dia menjelaskan kepada saya sebuah hadis tentang janggut. Artinya kira-kira begini, "Panjangkanlah janggutmu, cukurlah kumis, berbedalah dari orang-orang kafir."
Walhasil, mereka mempraktikkan hadis ini sebagai suatu kewajiban dan menghukum para lelaki yang tidak memanjangkan janggut. Bayangkan, gara-gara janggut, laki-laki bisa masuk penjara!
Demikianlah, jika kita memahami agama hanya secara tekstual yang dipentingkan adalah penerapan lahiriah dari sebuah teks, bukan pesan moral yang terkandung di balik teks. Saya sangat yakin pesan moral dari teks suci itu mengandung nilai-nilai penghormatan kepada manusia sebagai karya agung Tuhan, Sang Maha Pencipta.
Di awal pelatihan, banyak peserta protes keras dengan penjelasan narasumber. Sebagian dari mereka menuduh kami para pembicara sebagai agen Amerika yang kafir dan berusaha mengubah dan mendangkalkan akidah umat Islam. Bagi saya, mereka yang meyakini itu adalah kelompok masyarakat yang picik dan kurang bergaul. Mereka tidak mau mendengar pendapat yang berbeda karena selalu memandang pendapat orang lain salah. Orang lain selalu dituduh kafir, murtad, dan sesat. Penggolongan seperti inilah yang menyulitkan mereka untuk mendengar, belajar, berdialog, dan mengedepankan pemikiran kritis dalam segala hal. Pantaslah jika mereka sulit berubah.
Mestinya, kita selalu membuka ruang untuk mendengarkan pendapat orang lain dari mana pun datangnya. Perbedaan pendapat bukanlah ancaman yang harus ditakuti. Perbedaan pendapat adalah modal sosial yang dapat mengantarkan kita menjadi lebih kritis dan lebih bijak, terutama untuk lebih memahami eksistensi diri kita sebagai manusia, sebagai makhluk mulia ciptaan Tuhan Yang Maha Pengasih.
Namun, pada hari ketiga pelatihan, peserta tampaknya sudah mulai cair. Mereka sudah mau berdialog. Sebagian besar mulai respek pada penjelasan saya, terutama ketika saya menjelaskan ayat-ayat suci Al-Quran yang berbicara tentang pentingnya menghormati sesama manusia, pentingnya kesetaraan gender, pentingnya ilmu pengetahuan, serta pentingnya memenuhi hak dan kesehatan reproduksi, khususnya bagi kaum perempuan.
Konferensi dan pelatihan itu secara intens membahas berbagai bentuk ketidakadilan gender dan kurangnya akses pada program keluarga berencana, penguatan kualitas perawatan dan sistem kesehatan, tantangan sosial-budaya dan agama, pendekatan berbasis hak, kesetaraan dan pemberdayaan perempuan, keterlibatan laki-laki, keamanan komoditas kesehatan reproduksi, penguatan kolaborasi dan kemitraan, serta mobilisasi sumber daya untuk keluarga berencana. Selain itu, peserta juga mendapatkan pengayaan berupa pengalaman dari negara lain yang dibagikan sepanjang acara ini. Selama diskusi, tampak bahwa agama dan interpretasi teks-teks agama tentang keluarga berencana, pengaturan jarak kelahiran, hubungan keluarga, serta kesetaraan laki-laki dan perempuan memiliki pengaruh kuat atas kebijakan, pemrograman, dan akses ke layanan.
Pada akhir konferensi, para peserta sepakat bahwa upaya-upaya memajukan keluarga berencana serta pengaturan jarak kelahiran dan kesehatan reproduksi di Afghanistan membutuhkan lebih banyak dialog nasional dengan para mullah atau pemimpin agama yang umumnya sangat konservatif. Mereka sepakat berkomitmen menyerukan lokakarya lanjutan dengan lebih banyak keterlibatan para pemimpin provinsi dan pejabat daerah, pembentukan mekanisme koordinasi dengan LSM mitra pembangunan, dan pelatihan kepemimpinan bagi para pejabat provinsi dalam mempromosikan keluarga berencana. Konferensi juga menyepakati perlunya ketersediaan data yang memadai untuk pengambilan keputusan. Hal yang paling mendesak dilakukan adalah pelatihan kepemimpinan pejabat provinsi dalam mempromosikan keluarga berencana.
Beberapa peserta tampak terkesima karena saya hafal sejumlah ayat Al-Quran terkait isu-isu keluarga dan kehidupan masyarakat luas. Seorang peserta mengatakan bahwa tidak banyak perempuan yang bisa menghafal ayat-ayat Al-Quran. Syukurlah, jika kemampuan perempuan menghafal Al-Quran menjadi ukuran untuk respek. Namun, bagi saya itu belum cukup! Sebab, semua perempuan harus dihargai tidak peduli dia mampu menghafal Al-Quran atau tidak. Semua perempuan harus dihormati, baik sebagai warga negara yang merdeka maupun sebagai manusia seutuhnya.
Sungguh di luar dugaan, pada hari terakhir pelatihan, tiga orang peserta menghampiri saya lalu berkata, “Maafkan sikap kami yang tidak ramah dan cenderung kasar di awal pelatihan. Sekarang kami baru paham apa itu makna demokrasi, apa itu prinsip hak asasi manusia, dan mengapa hak kesehatan reproduksi itu penting. Kami berterima kasih mendapatkan pencerahan dan ilmu bermanfaat.”
Tak hanya itu, mereka pun menambahkan, “Ke depannya kami siap melakukan ijtihad kemanusiaan, memberikan pencerahan kepada umat agar mereka mencintai ilmu dan pendidikan. Hanya dengan ilmu dan pendidikan yang cukup, umat Islam menjadi umat yang berkualitas, menikmati keadilan, kesejahteraan, dan kedamaian. Kami baru sadar, bahwa esensi Islam adalah penegakan hak asasi manusia, yaitu sungguh-sungguh memanusiakan manusia.”
Saya membatin, inilah pentingnya pelatihan, pentingnya dialog, dan pentingnya upaya-upaya pemberdayaan masyarakat. Upaya seperti ini harus banyak dilakukan di berbagai tempat, terutama di kalangan kelompok Islam radikal yang anti-kemanusiaan dan anti hak asasi manusia, seperti kelompok Taliban.
Setelah acara penutupan resmi, panitia menyelenggarakan kegiatan santai berupa makan siang dengan menu istimewa sambil memperkenalkan berbagai produk organisasi UNFPA terkait penguatan hak-hak kesehatan reproduksi (kespro). Beberapa di antara mullah Taliban menghampiri saya untuk berfoto.
Spontan saya menjawab, “Maaf, saya tidak bisa berfoto dengan laki-laki yang bukan mahram.”
Petugas UN yang mengenal saya biasa berfoto dengan siapa pun tertawa terbahak-bahak. Dia mengatakan, “Nggak nyangka, bisa juga kamu ngerjain mereka.”
Saya tersenyum menanggapinya. Saya hanya ingin agar mereka juga merasakan betapa tidak nyaman hidup dengan penuh larangan dan blokade.
Usai pelatihan, keesokan harinya saya meninggalkan bandara Kabul menuju Dubai untuk segera kembali ke Jakarta. Di bandara saya memperhatikan sejumlah perempuan masih mengenakan burqa. Namun, begitu mendarat di Dubai, Uni Emirat Arab, semua perempuan tersebut melepas burqa. Wajah mereka terlihat lega. Mungkin mereka merasa seperti bebas dari penjara, penjara agama yang kerap lebih menyakitkan.
Saya selalu mengampanyekan kebebasan yang disertai kesadaran kemanusiaan dan tanggung jawab. Saya sangat yakin, semua bentuk pemaksaan, khususnya pemaksaan dalam agama hanya akan berakhir sia-sia. Selama ajaran agama dipaksakan pelaksanaannya, pasti tidak akan membuahkan kebaikan dan kemaslahatan bagi manusia dan kemanusiaan.
Itulah sebabnya Allah Yang Maha Penyayang mengingatkan: “Berdakwahlah dengan penuh hikmah, santun dan bijak, serta berdebatlah dengan cara yang lebih baik dan beradab. Sesungguhnya hanya Tuhanlah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari Jalan-Nya dan Dialah juga yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Q. S. An-Nahl: 125).
Setelah tiba di Dubai, sungguh saya merasa gembira dan lega telah bebas dari kondisi yang mencekam di Kabul. Petugas UN yang pulang bersama saya mengangkat kedua tangannya sebagai simbol bebas dari penjara dengan berucap, “We are really free now, but we have been there.” (Bersambung).