Sejak kecil, Syekh Nawawi menunjukkan bakat serta kecerdasan yang luar biasa dalam mempelajari ilmu agama. Selain belajar langsung kepada bapaknya, Syekh Nawawi juga menuntut ilmu kepada Haji Sahal dan Raden Haji Yusuf.
“Syekh Nawawi kemudian memutuskan pergi ke Mekkah untuk belajar agama Islam di Masjidil Haram. Selama tiga tahun di Mekkah, Syekh Nawawi belajar kepada para ulama besar di Arab, diantaranya Sayyid Ahmad An-Nahrawi, Syekh Muhammad Khatib Al-Hanbali, Sayyid Ahmad Zaini, dan Sayyid Ahmad Ad-Dimyati,” kata Bamsoet.
Syekh Nawawi marah melihat perlakuan penjajah Belanda terhadap masyarakat di sekitar kampungnya saat kembali ke Banten.
Ia pun mengajak masyarakat untuk melawan Belanda melalui khotbah yang disampaikan. Akibatnya, penjajah Belanda mengawasi ketat setiap pergerakan Syekh Nawawi, yang kemudian membuatnya kembali ke Mekkah dan tetap memimpin pergerakan dari sana.
“Ilmu agama yang diperoleh Syekh Nawawi terus meningkat setelah kembali ke Mekkah. Beliau kemudian dipercaya sebagai pengajar dan imam di Masjidil Haram. Syekh Nawawi disegani oleh para ulama dan penuntut ilmu agama Islam dari penjuru dunia,” ujar Bamsoet.
Selama hidupnya, Syekh Nawawi sangat produktif menulis kitab. Jumlah karyanya tidak kurang dari 115 kitab yang meliputi bidang ilmu fiqih, tafsir, tauhid, tasawuf, dan hadis. Salah satu karya terkenalnya adalah kitab tafsir Al-Kashif, yang merupakan tafsir Al-Qur’an dan dinilai sebagai salah satu karya penting dalam bidang tafsir.
“Syekh Nawawi wafat di Mekah pada tahun 1897 dan dimakamkan di Jannatul Mu’alla, Mekkah, bersebelahan dengan makam anak perempuan dari Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq, Asma binti Abu Bakar al-Siddîq,” kata Bamsoet. (manaf)