Usai membacakan isi surat yang dilayangkan kedua terdakwa, hakim yang dalam waktu dekat pindah tugas sebagai Ketua PN Kediri ini kembali menanyakan apakah uang untuk pembayaran restitusi itu sudah disiapkan, apakah dalam bentuk cash atau akan ditransferkan ? Jika dana tersebut sudah diserahkan ke jaksa penuntut umum yang selanjutnya meneruskan ke panitera PN Maros untuk dititipkan di kas negara, maka majelis hakim segera membuat surat penetapannya.
“Uang pembayaran restitusi itu tidak langsung diserahkan ke keluarga almarhum Virendy. Tapi setelah ada keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, barulah dieksekusi oleh jaksa dengan ditransferkan ke rekening orang tua korban. Namun saudara terdakwa perlu ketahui, pembayaran restitusi tidak berarti menghapuskan perbuatan pidana dalam perkara ini. Juga perlu kalian pahami bahwa restitusi berbeda dengan restoratif justice,” terang hakim kelahiran Manokwari tersebut.
Pada kesempatan ini, majelis hakim juga menyarankan kepada kedua terdakwa bersama penasehat hukumnya Ilham Prawira, SH dari PKBH Unhas untuk mempertanyakan kepada Rektor Unhas soal sanksi akademik apakah tetap berpegang kepada Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD-ART) Unhas atau ada pengecualian bagi Ibrahim Fauzi dan Farhan Tahir untuk kelanjutan kuliah serta masa depannya.
Selesai memberikan saran-saran tersebut di depan persidangan yang juga didengar oleh pihak keluarga dan kerabat almarhum Virendy yakni James Wehantouw (ayah), Femmy Lotulung (ibu), Dr. Ir. Muh. Zainal Altim, ST, MT dan Drs. Khairil, majelis hakim menunda sidang sampai Senin 15 Juli 2024 untuk kembali memberi kesempatan kepada jaksa penuntut umum mempersiapkan tuntutan pidananya. (*)