“Yang merasa terpilih di KLB saja hadir sebagai atlit Catur PWI Riau. Bahkan sempat disapa Ketum PWI yang keliling saksikan pertandingan,” timpal seorang wartawan yang mengaku taat dan berpedoman pada keabsahan PD/PRT dan KPW.
“Biasalah, kami kemari mau sehat jasmani. Juga rohani. Silaturahmi itu, penting. Sekalipun menyelamatkan PWI jauh lebih penting,” senyum seorang atlit yang mengaku PWInya dibekukan tapi di Porwanas dia tetap aktif, tak ada sesarrahpun protes.
Dari beberapa Porwanas yang saya hadiri sejak awal di Semarang, Jateng, memang PWI Kalimantan Selatan, selalu terdepan. (Maaf bukan mengecilkan arti PWI lainnya termasuk PWI Sulsel, asal saya). Tapi kota Banjarmasin menurut saya, selalu siap jadi ‘tuan rumah’ yang paripurna, mulai dari penjemputan, pemondokan, transportasi, konsumsi dan tehnik pertandingan semua rapih. Panitianya layak dapat jempol.
Domini Tertutup
Kali ini ada pertandingan yang banyak peminatnya setelah sepak bola ditiadakan. Hampir semua ‘petinggi’ PWI di provinsi ikut jadi atletnya. Tak heran, ketika pembukaan pertandingan, ada dua ratusan peserta Porwanas ngumpul di tempat ini, bertepatan pembukaan Porwanas. Belum terhitung lokasi lainnya. Padahal, domino hanya butuh 3 orang minimal. Yaitu, kelas berpasangan dan perseorangan. Hanya saja, ada yang menantang. Yaitu, domino tertutup. Ini juga butuh 3 orang. Berarti 6 orang tiap PWI Provinsi.
Di domino, mendaftar 28 kontingen peserta. Jadi akumulasinya, 168 atlet. Belum termasuk puluhan panitia yang wajib melayani dan mengawasi pelanggaran di tiap meja pertandingan. Juga, banyaknya supporter. Tak heran kalau pedagang baju dan asongan keliling ikut membaur menjajal rejeki.